Selasa, 26 April 2011

Sejarah Bangkalan

Bangkalan berasal dari kata “bangkah” dan ”la’an” yang artinya “mati sudah”. Istilah ini diambil dari cerita legenda tewasnya pemberontak sakti Ki Lesap yang tewas di Madura Barat. Menurut beberapa sumber, disebutkan bahwa Raja Majapahit yaitu Brawijaya ke V telah masuk Islam (data kekunoan di Makam Putri Cempa di Trowulan, Mojokerto). Namun demikian siapa sebenarnya yang dianggap Brawijaya ke V.

Didalam buku Madura en Zijin Vorstenhuis dimuat antara lain Stamboon van het Geslacht Tjakradiningrat.

Dari Stamboon tersebut tercatat bahwa Prabu Brawijaya ke V memerintah tahun 1468–1478. Dengan demikian, maka yang disebut dengan gelar Brawijaya ke V (Madura en Zijin Vorstenhuis hal 79) adalah Bhre Krtabhumi dan mempunyai 2 (dua) orang anak dari dua istri selir. Dari yang bernama Endang Sasmito Wati melahirkan Ario Damar dan dari istri yang bernama Ratu Dworo Wati atau dikenal dengan sebutan Putri Cina melahirkan Lembu Peteng. Selanjutnya Ario Damar (Adipati Palembang) mempunyai anak bernama Menak Senojo.

Menak Senojo tiba di Proppo Pamekasan dengan menaiki bulus putih dari Palembang kemudian meneruskan perjalannya ke Barat (Bangkalan). Saat dalam perjalanan di taman mandi Sara Sido di Sampang pada tengah malam Menak Senojo mendapati banyak bidadari mandi di taman itu, oleh Menak Senojo pakaian salah satu bidadari itu diambil yang mana bidadari itu tidak bisa kembali ke kayangan dan akhirnya jadi istri Menak Senojo.

Bidadari tersebut bernama Nyai Peri Tunjung Biru Bulan atau disebut juga Putri Tunjung Biru Sari. Menak Senojo dan Nyai Peri Tunjung Biru Bulan mempunyai anak Ario Timbul. Ario Timbul mempunyai anak Ario Kudut. Ario Kudut mempunyai anak Ario Pojok. Sedangkan di pihak Lembu Peteng yang bermula tinggal di Madegan Sampang kemudian pindah ke Ampel (Surabaya) sampai meninggal dan dimakamkan di Ampel, Lembu Peteng mempunyai anak bernama Ario Manger yang menggantikan ayahnya di Madegan Sampang. Ario Manger mempunyai anak Ario Pratikel yang semasa hidupnya tinggal di Gili Mandangin (Pulau Kambing). Dan Ario Pratikel mempunyai anak Nyai Ageng Budo.

Nyai Ageng Budo inilah yang kemudian kawin dengan Ario Pojok. Dengan demikian keturunan Lembu Peteng menjadi satu dengan keturunan Ario Damar. Dari perkawinan tersebut lahirlah Kiai Demang yang selanjutnya merupakan cikal bakal Kota Baru dan kemudian disebut Plakaran. Jadi Kiai Demang bertahta di Plakaran Arosbaya dan ibukotanya Kota Baru (Kota Anyar) yang terletak disebelah Timurdaya Arosbaya. Dari perkawinannya dengan Nyai Sumekar mempunyai 5 (lima) orang anak yaitu :

Kiai Adipati Pramono di Madegan Sampang.
Kiai Pratolo disebut juga Pangeran Parambusan.
Kiai Pratali atau disebut juga Pangeran Pesapen .
Pangeran Paningkan disebut juga dengan nama Pangeran Suka Sudo .
Kiai Pragalbo yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Plakaran karena bertahta di Plakaran, setelah meninggal dikenal sebagai Pangeran Islam Onggu'.

Namun perkembangan Bangkalan bukan berasal dari legenda ini, melainkan diawali dari sejarah perkembangan Islam di daerah itu pada masa pemerintahan Panembahan Pratanu yang bergelar Lemah Dhuwur.

Beliau adalah anak Raja Pragalba, pendiri kerajaan kecil yang berpusat di Arosbaya, sekitar 20 km dari kota Bangkalan ke arah utara. Panembahan Pratanu diangkat sebagai raja pada 24 Oktober 1531 setelah ayahnya, Raja Pragalba wafat. Jauh sebelum pengangkatan itu, ketika Pratanu masih dipersiapkan sebagai pangeran, dia bermimpi didatangi orang yang menganjurkan dia memeluk agama Islam. Mimpi ini diceritakan kepada ayahnya yang kemudian memerintahkan patih Empu Bageno untuk mempelajari Islam di Kudus.

Perintah ini dilaksanakan sebaik-baiknya, bahkan Bageno bersedia masuk Islam sesuai saran Sunan Kudus sebelum menjadi santrinya selama beberapa waktu lamanya. Ia kembali ke Arosbaya dengan ilmu keislamannya dan memperkenalkannya kepada Pangeran Pratanu.

Pangeran ini sempat marah setelah tahu Bageno masuk Islam mendahuluinya. Tapi setelah dijelaskan bahwa Sunan Kudus mewajibkannya masuk Islam sebelum mempelajari agama itu, Pangeran Pratanu menjadi maklum.

Setelah ia sendiri masuk Islam dan mempelajari agama itu dari Empu Bageno, ia kemudian menyebarkan agama itu ke seluruh warga Arosbaya. Namun ayahnya, Raja Pragalba, belum tertarik untuk masuk Islam sampai ia wafat dan digantikan oleh Pangeran Pratanu. Perkembangan Islam itulah yang dianut oleh pimpinan di Kabupaten Bangkalan ketika akan menentukan hari jadi kota Bangkalan, bukan perkembangan kekuasan kerajaan di daerah itu.

Jauh sebelum Pangeran Pratanu dan Empu Bageno menyebarkan Islam, sejumlah kerajaan kecil di Bangkalan.

Diawali dari Kerajaan Plakaran yang didirikan oleh Kyai Demang dari Sampang. Yang diperkirakan merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit yang sangat berpengaruh pada saat itu. Kyai Demang menikah dengan Nyi Sumekar, yang diantaranya melahirkan Raden Pragalba. Pragalba menikahi tiga wanita. Pratanu adalah anak Pragalba dari istri ketiga yang dipersiapkan sebagai putera mahkota dan kemudian dikenal sebagai raja Islam pertama di Madura. Pratanu menikah dengan putri dari Pajang yang memperoleh keturunan lima orang :

Pangeran Sidhing Gili yang memerintah di Sampang. Raden Koro yang bergelar Pangeran Tengah di Arosbaya, Raden Koro menggantikan ayahnya ketika Pratanu wafat. Pangeran Blega yang diberi kekuasaan di Blega. Ratu Mas di Pasuruan dan Ratu Ayu.

Kerajaan Arosbaya runtuh diserang oleh Mataram pada masa pemerintahan Pangeran Mas pada tahun 1624. Pada pertempuran ini Mataram kehilangan panglima perangnya, Tumenggung Demak, beberapa pejabat tinggi kerajaan dan sebanyak 6.000 prajurit gugur.

Korban yang besar ini terjadi pada pertempuran mendadak pada hari Minggu, 15 September 1624, yang merupakan perang besar. Laki-laki dan perempuan kemedan laga. Beberapa pejuang laki-laki sebenarnya masih bisa tertolong jiwanya. Namun ketika para wanita akan menolong mereka melihat luka laki-laki itu berada pada punggung, mereka justru malah membunuhnya.

Luka di punggung itu menandakan bahwa mereka melarikan diri, yang dianggap menyalahi jiwa ksatria. Saat keruntuhan kerajaan itu, Pangeran Mas melarikan diri ke Giri. Sedangkan Prasena (putera ketiga Pangeran Tengah) dibawa oleh Juru Kitting ke Mataram, yang kemudian diakui sebagai anak angkat oleh Sultan Agung dan dilantik menjadi penguasa seluruh Madura yang berkedudukan di Sampang dan bergelar Tjakraningrat I.

Keturunan Tjakraningrat inilah yang kemudian mengembangkan pemerintahan kerajaan baru di Madura, termasuk Bangkalan. Tjakraningrat I menikah dengan adik Sultan Agung. Selama pemerintahannya ia tidak banyak berada di Sampang, sebab ia diwajibkan melapor ke Mataram sekali setahun ditambah beberapa tugas lainnya. Sementara kekuasaan di Madura diserahkan kepada Sontomerto.

Dari perkawinannya dengan adik Sultan Agung, Tjakraningrat tidak mempunyai keturunan sampai istrinya wafat. Baru dari pernikahannya dengan Ratu Ibu ( Syarifah Ambani, keturunan Sunan Giri ), ia memperoleh tiga orang anak dan beberapa orang anak lainnya diperoleh dari selirnya (Tertera pada Silsilah yang ada di Asta Aer Mata Ibu.

Bangkalan berkembang mulai tahun 1891 sebagai pusat kerajaan dari seluruh kekuasaan di Madura, pada masa pemerintahan Pangeran Tjakraningrat II yang bergelar Sultan Bangkalan II. Raja ini banyak berjasa kepada Belanda dengan membantu mengembalikan kekuasaan Belanda di beberapa daerah di Nusantara bersama tentara Inggris.

Karena jasa-jasa Tjakraningrat II itu, Belanda memberikan izin kepadanya untuk mendirikan militer yang disebut ‘Corps Barisan’ dengan berbagai persenjataan resmi modern saat itu. Bisa dikatakan Bangkalan pada waktu itu merupakan gudang senjata, termasuk gudang bahan peledak.

Namun perkembangan kerajaan di Bangkalan justru mengkhawatirkan Belanda setelah kerajaan itu semakin kuat, meskipun kekuatan itu merupakan hasil pemberian Belanda atas jasa-jasa Tjakraningrat II membantu memadamkan pemberontakan di beberapa daerah. Belanda ingin menghapus kerajaan itu. Ketika Tjakraningrat II wafat, kemudian digantikan oleh Pangeran Adipati Setjoadiningrat IV yang bergelar Panembahan Tjokroningrat VIII, Belanda belum berhasil menghapus kerajaan itu. Baru setelah Panembahan Tjokroadiningrat wafat, sementara tidak ada putera mahkota yang menggantikannya, Belanda memiliki kesempatan menghapus kerajaan yang kekuasaannya meliputi wilayah Madura itu.

Raja Bangkalan Dari Tahun 1531 - 1882

Tahun 1531 - 1592 : Kiai Pratanu (Panembahan Lemah Duwur)
Tahun 1592 - 1620 : Raden Koro (Pangeran Tengah)
Tahun 1621 - 1624 : Pangeran Mas
Tahun 1624 - 1648 : Raden Prasmo (Pangeran Cakraningrat I)
Tahun 1648 - 1707 : Raden Undakan (Pangeran Cakraningrat II)
Tahun 1707 - 1718 : Raden Tumenggung Suroadiningrat
(Pangeran Cakraningrat III)
Tahun 1718 - 1745 : Pangeran Sidingkap (Pangeran Cakraningrat IV)
Tahun 1745 - 1770 : Pangeran Sidomukti (Pangeran Cakraningrat V)
Tahun 1770 - 1780 : Raden Tumenggung Mangkudiningrat
(Panembahan Adipati Pangeran Cakraadiningrat VI)
Tahun 1780 - 1815 : Sultan Abdu/Sultan Bangkalan I
(Panembahan Adipati Pangeran Cakraadiningrat VII)
Tahun 1815 - 1847 : Sultan Abdul Kadirun (Sultan Bangkalan II)
Tahun 1847 - 1862 : Raden Yusuf (Panembahan Cakraadiningrat VII)
Tahun 1862 - 1882 : Raden Ismael (Panembahan Cakraadiningrat VIII)

Minggu, 24 April 2011

Membangun Masyarakat Bersih

Masyarakat yang diliputi oleh suasana korup yang dilakukan tidak saja oleh pejabat birokrasi pemerintah, melainan juga oleh lembaga-lembaga swasta mengundang pertanyaan besar. Apalagi anehnya pelaku korup ternyata juga dilakukan oleh orang-orang yang sehari-hari terlibat memberantas korupsi itu sendiri. Kalau demikian, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan ialah apakah korusi merupakan karakter sebuah tatanan masyarakat tertentu dan sesungguhnya itu menjadi berubah tatkala karakter masyarakat juga berhasil diubah.

Sangat mengejutkan fenomena ang muncul akhir-akhir ini, menyangkut tentang korupsi ini. Lembaga eksekutif yang telah memiliki perangkat hukum, sistim manajemen dan akuntansi yang mantap, sarana pengendalian yang cukup handal melalui program-program komputerisasi dan lain sebagainya, tetapi pada kenyataannya masih tetap terjadi korupsi yang jumlah pelaku dan nilai dana yang dikorup tetap tinggi. Begitu pulalembaga legislatif, yang semestinya melakukan peran-peran kontrol, ternyata tidak sedikit kasus-kasus korupsi justru dilakukan oleh banyak anggota legislatif. Tidak tanggung-tanggung bahwa pelaku korupsi dilakukan secara bersama-sama. Akibatnya, di beberapa daerah, sejumlah anggota legislatif diperiksa bersama-sama dan akhirnya juga masuk penjara bersama-sama. Peristiwa ini sesungguhnya sangat memalukan. Korupsi dianggap menjadi sesuatu ang biasa, wajar dan lazim. Dan justru menjadi aneh jika terdapat pejabat pemerintah aau juga swasta yang mampu menjaga diri untuk tidak melakukan korupsi.

Anehnya di tengah masyaraat yang korup, justru orang yang tidak aman adalah orang-orang yang jujur yang tidak mau melakukan penyimpangan. Masyarakat korup ternyata juga membenci siapa saja yang jujur. Orang jujur dianggap tidak menguntungkan bagi orang-orang yang menyuikai korupsi. Biasanya orang jujur kemudian tersisihkan, dan jangan berharap daam proses pemilihan kepemimpinan yang berjalan secara demokratis di tengah-tengah masyarakat korup ia akan dipilih menjadi seorang pimpinan. Oleh karena itu sesungguhnya tidak selalu benar pandangan yang mengatakan bahwa orang jujur itu selalu dibutuhkan di segala jenis masyarakat. Justru orang jujur di tengah-tengah masyarakat korup akan selalu disisihkan.

Memberantas korupsi di tengah-tengah masyarakat yang menjalani kehidupannya dengan korupsi ternyata tidak mudah. Pengadilan yang kukuh yang ditopang oleh sistim manajemen maupun akuntansi yang kuat ternyata juga masih belum berhasil menghilangkan tindak korupsi ini. Jika kita memperhatikan betapa kerapian, kekuatan manajemen dan akuntansi yang dilakukan oleh bank. Sungguh sangat rapi. Bank biasanya didukung oleh manajemen dan akuntansi yang kuat. Selain itu juga dikelola oleh orang-orang yang ahli di bidangnya secara meyakinkan. Kita mendengar bahwa gaji pegawai dan apalagi pejabat bank sedemikian tinggi, melebihi gaji yang diterima pegawai lainnya. Akan tetapi pada kenyataannya tidak sedikit justru korupsi terbesar jumlahnya terjadi di dunia perbankan. Bagaimana ini semua dapat dipahami ?

Fenomena lain, suatu lembaga yang amat sederhana, diurus oleh orang yang secara ekonomis rendah, tidak didukung oleh manajemen dan akuntansi yang akurat, tetapi justru di sana tidak ada korupsi. Semua keuangan tidak ada yang diselewengkan. Para pengelolanya memiliki ketulusan yang tinggi. Laporan keuangan tidak dibuat secara rumit, akan tetapi uang yang ada selamat dari kemungkinan penyimpangan. Lagi-lagi, mengapa hal itu terjadi. Pertanyaannya, apakah semakin pintar masyarakat justru kemungkinan penyimpangan juga semakin besar terjadi dan begitu juga sebaliknya ? Apakah orang berpengetahuan sederhana, berpendidikan rendah juga selalu tidak memiliki kemampuan untuk melakukan penyimpangan terhadap pengurusan keuangan. Sehingga, dari fenomena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa justru kepintaran itu yang mengakibatkan lahirnya penyimpangan keuangan yang disebut korup itu ? Sudah barang tentu logikanya sesederhana ini.

Untuk menjawab persoalan tersebut saya mencoba bertanya pada al Qur?an. Pada kitab suci yang diturunkan melali Nabi Muhammad saw ini banyak bertebaran perintah untuk berjuang. Bahkan, ada perintah agar berjuang dengan sebenar-benarnya berjuang untuk Allah. Dari berbagai perintah untuk berjuang ini, saya memperoleh kesan bahwa bangunan masyarakat Islam sesungguhnya adalah masyarakat yang selalu diliputi oleh suasana perjuangan.

Dalam keadaan apapun, kita lihat bahwa perjuangan selalu terkait dengan pengorbanan. Orang yang sedang berjuang, apalagi berjuang untuk membangun keadilan, kejujuran, menghindar dari penindasan, meraih cita-cita luhur dan bahkan berjuang untuk mendapatkan cinta, maka selalu dibarengi dengan kesediaan untuk berkorban. Masyarakat atau seseorang yang sedang dalam suasana perjuangan tidak pernah berharap memperoleh keuntungan, apalagi keuntungan yang bersifat materi. Yang diharap dalam perjuangan adalah capaian nilai perjuangan itu, sekalipun mereka harus berkorban.

Berbeda dengan masyarakat pejuang adalah masyarakat yang bernuansa transaksi onal. Transaksi biasanya terjadi dalam aktivitas jual beli atau tukar menukar. Dalam suasana transaksional seorang pembeli selalu menginkan memperoleh barang dengan harga semurah-murahnya, dan begitu pula sebaliknya. Seorang penjual selalu menginginkan harga atau untung setinggi-tingginya. Oleh karena itulah seringkali terjadi tipu muslihat, kecurangan, penipuan, ingkar janji dan sebagainya. Sedemikian buruh keadaan terjadi pada dunia transaksional itu, sampai-sampai al Qur?an dan juga tidak sedikit hadits nabi secara khususu memperingatkan agar selalu bertindak adil dan jujur dalam menimbang dan juga dalam jual beli. Bahkan lebih dari itu, karena sedemikian buruknya suasana transaksional itu, diingatkan bahwa pasar adalah merupakan tempat yang buruk, dan berbeda dengan masjid atau tempat ibadah. Atas dasar ini, masyarakat transaksional adalah masyarakat yang kurang bagus karena bisa melahirkan sifat-sifat pribadi atau kelompok menjadi kurang bagus itu.

Membandingkan antara dua tipe masyarakat, yakni masyarakat bernuansa berju ang dan masyarakat bernuansa transaksional memang sangat jauh berbeda. Masyarakat pejuang melahirkan sikap berkorban, jujur dan adil membela nilai-nilai kemanusian yang tinggi. Sebaliknya, masyarakat transaksional, sekalipun hal itu selalu menjadi pilihan dan bahkan menjadi tuntutan masyarakat modern, selalu melahirkan ciri-ciri seperti korup, menyimpang, menerabas, tipu muslihat, bohong, palsu dan sebagainya. Pertanyaannya adalah apakah lembaga, baik pemerintah atau swasta dan lebih luas lagi, masyarakat bangsa ini lebih bernuansa pejuang atau transaksional itu. Jika ternyata kita evaluasi bahwa nuansa transaksional lebih menonjol daripada nuansa perjuangan, maka wajarlah jika korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya lebih subur. Sebab, korup dan segala bentuk penyimpangan masyarakat itu memang merupakan anak kandung dari masyarakat yang bernuansa transaksional itu, wallohu a?lam bishowab.

Ibadah, Amal dan Akhlak



Dalam ajaran Islam, manusia diciptakan oleh Allah swt., tidak lain kecuali untuk beribadah. Ibadah kepada Allah harus dimaknai secara luas, ialah apa saja yang dilakukan sepanjang kehidupan itu sendiri. Hidup itu dimulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, dan bahkan tidur pun harus dimaknai sebagai ibadah. Sepanjang kehidupan itu, bagi kaum muslimin harus dimaknai dan diniatkan sebagai ibadah kepada Allah. Sejak terbangun dari tidur seharusnya diliputi suasana ibadah. Mereka mengucapkan hamdallah, memuji Allah. Selanjutnya, dengan mengucap basmallah, mengambil air wudhu, di pagi buta itu, kemudian menuju masjid, sholat subuh berjama�ah. Di saat pagi-pagi buta, bersama isteri dan anak-anaknya bertemu dengan tetangga di tempat yang suci itu, yakni masjid. Mereka menghadap kepada Allah menunaikan kewajiban pertama di hari itu, ialah sholat subuh berjama�ah.

Sebelum, sedang dan akhir dari sholat, mereka mengucapkan kalimah-kalimah mulia, mulai dari basmallah, subhanallah, hamdallah dan takbir. Itulah yang sehari-hari dilakukan oleh kaum muslimin pada setiap pagi tatkala mengawali kehidupan di hari itu. Bandingkan umpama, seseorang tidak memeluk Islam. Tidalk akan ada kegiatan itu. Di pagi buta, karena tidak ada niat dan kewajiban menjalankan ibadah, masih meneruskan tidurnya hingga menjelang mereka pergi mencari rizki. Kalaupun mereka terbangun dari tidur di pagi buta itu, bagi mereka yang tidak merasa berkewajiban sholat subuh, bagi mereka yang berdagang segera buka toko atau pergi ke pasar. Begitu pula akan segera ke kantor, karena jaraknya dari tempat tinggalnya cukup jauh, misalnya.

Di pagi buta subuh ini, sudah bisa dibedakan antara kehidupan dan kegiatan kaum muslimin dari mereka yang bukan. Kaum muslimin diajarkan agar tidak pernah mengabaikan Sang Penciptanya. Dari pagi setelah bangun dari tidur, hati dan bibir serta jasat kaum muslimin dibiasakan mengingat pada Dzat Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta dan Yang Maha Mencintai terhadap seluruh makhluk-Nya. Kalimat-kalimat agung dan mulia menghiasi kehidupannya sehari-hari. Sedangkan mereka yang tidak beragama Islam, kebiasaan itu kiranya tidak dilakukan. Maka, Islam mengajarkan kepada kaum muslimin, agar seluruh hidupnya untuk beribadah.

Sepulang dari masjid, selesai menjalankan sholat subuh berjama�ah, bagi yang tidak memiliki kegiatan selanjutnya, mereka masih di masjid membaca kitab suci al Qur�an sebagai kegiatan rutinnya, atau kegiatan membaca al Qur�an bisa dilakukan di rumah masing-masing. Bagi mereka yang ingin menjaga kesehatannya, setelah membaca al Qur�an, berolah raga, misalnya dengan jogging atau berjalan kaki. Sedangkan bagi mereka yang bekerja, setelah membaca al Qur�an, berkemas-kemas, makan pagi, segera menuju ke tempat kerja masing-masing.

Bagi mereka yang keluar rumah tidak terlalu pagi, sehubungan dengan jenis pekerjaannya tidak menuntut yang demikian, setelah matahari kelihatan jelas dari timur, kaum muslimin disunnahkan untuk mengambil air wudhu dan selanjutnya sholat dhuha beberapa roka�at. Rosulullah memberikan tuntunan seperti itu. Selanjutnya, pada waktu kerja mereka bertebaran ke tempat kerjanya masing-masing, untuk mendapatkan rizki, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Apapun yang dilakukan oleh kaum muslimin, seharusnya dimulai dengan mengucap basmallah. Kalimat yang sangat mulia, yakni basmallah selalu digunakan untuk memulai seluruh kegiatannya. Penyebutan kalimah itu akan memberikan kesadaran sekaligus keyakinan bahwa apa saja yang dilakukan selalu terdorong dan diwarnai oleh sifat-sifat yang mulia itu. Sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang milik Allah yang selalu dijadikan awal sekaligus dasar berbuat dan atau bekerja diharapkan akan mewarnai seluruh kegiatan saat itu. Rasanya dengan menggunakan logika dan atau cara berpikir seperti ini, seorang muslim tidak akan berbuat yang bertentangan dengan itu, misalnya berbuat kasar, atau menurut masyarakatnya dinilai tidak sopan hingga menyakiti orang lain, apalagi bersifat merusak.

Bekerja atau dalam Islam disebut sebagai beramal, menurut tuntunan Islam harus dilakukan secara sholeh. Kata sholeh memiliki arti benar, tepat, lurus, cocok atau mungkin kata yang tepat sebagaimana yang dikenal saat sekarang adalah professional. Amal sholeh, sama artinya dengan bekerja secara professional. Tetapi sesungguhnya tidak semua yang dilakukan secara professional merupakan amal sholeh. Kerja professional baru dikatan sebagai bentuk amal sholeh jika dimulai dengan basmallah, dilakukan secara sabar, ikhlas, amanah dan istiqomah, untuk menghasilkan yang terbaik. Kegiatan itu diakhiri dengan bersukur, karena mendapatkan nikmat, petunjuk dan pertolongan dari Allah swt.

Bekerja atau amal sholeh yang selalu diliputi oleh suasana beribadah, maka akan selalu menghindari terjadinya kerugian pihak lain, seperti misalnya kecurangan, kebohongan, kepalsuan dan segala bentuk keburukan lainnya. Sehingga, kalau pekerjaan itu sebagai bagian dari mencari rizki, maka akan mendapatkan rizki yang halal. Berkerja dan atau mencari rizki, menurut tuntunan Islam harus memperhatikan kadar ke halalannya. Rizki bagi kaum muslimin -----apapun cara mendapatkannya, misalnya melalui bekerja di kantor, di kebun sebagai petani, di tambak atau laut sebagai nelayan, buruh, pegawai dan lain-lain harus dieroleh secara halal. Bahkan sebagai penyempurna kehalalan rizki itu, masih harus dikeluarkan sebagiannya diserahkan pada yang berhak, sebagai bentuk solidaritas dan tanggung jawab sosialnya. Maka, muncullah konsep tentang zakat, infaq, shodaqoh, dan hibah. Semua itu agar kehidupan yang dijalani membawa berkah.

Bekerja sepanjang waktu bagi siapapun akan mengalami kelelahan. Karena itu, di waktu-waktu tertentu, ada kegiatan spiritual yaitu sholat. Di siang hari setelah bekerja selama sekitar 5 jam misalnya, dari jam 07.00 sampai jam 12.00, kaum muslimin diwajibkan sholat dhuhur, dan sangat utama jika dilakukan secara berjama�ah. Bekerja selama kurang lebih lima jam, akan mengalami kelelahan. Mereka sangat memerlukan istirahat. Jika mereka kemudian ambil air wudhu, membasuh seluruh wajah, tangan, mengusap sebagian rambut dan juga membasuh kaki, maka, selain badan menjadi suci dari hadats, maka kelelahan atau rasa capek akan berkurang. Sholat berjama�ah selain sekaligus mempererat silaturrahmi juga menjadikan beban-beban psikologis akibat bekerja sepanjang waktu, akan berkurang pula. Bekerja atau beramal sholeh, lalu mengingat Allah Yang Maha Pencipta, Maha Kuasa dan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, akan berpengaruh terhadap semua aspek kehidupannya, baik jiwa, pikiran maupun badannya secara keseluruhan.

Hidup seperti digambarkan tersebut, yakni seluruh kegiatannya selalu dikaitkan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ditunaikan dengan penuh amanah, sabar, ikhlas dan istiqomah, maka itulah sebagai bentuk ibadah. Ibadah dan amal sholeh tidak dilihat secara terpisah, melainkan menyatu. Apalagi, kegiatan itu selalu diwarnai dengan kharakter atau akhlaq yang mulia. Bahwa apa yang dilakukan sebagai ekspresi dari suara hati yang jernih, karena itu selalu diniatkan sebagai ibadah yang didorong oleh semangat bekerja secara lillahi ta�ala, ikhlas, sabar dan sukur, tawakkal dan istiqomah. Sebaliknya, sebagai bagian dari menjaga akhlaq, tatkala bekerja selalu menghindari dari sifat sombong, dengki, takabbur, iri hati dan sifat-sifat buruk lainnya, maka antara ibadah, amal dan akhlaq menyatu dalam kehidupan kaum muslimin.

Masih dalam rangkaian aktivitas ibadah spiritual lainnya, yang juga bernuansa kebersamaan, karena dilakukan secara berjama�ah adalah sholat asyar, maghrib dan isya�. Selain itu masih ada lagi sholat-sholat sunnah baik sebelum atau sesudah sholat fardhu ialah sholat malam dan juga sholat witir. Semua kegiatan spiritual, amal sholeh dan akhlakul karimah itu, sesungguhnya jika dijalankan secara istiqomah, akan melahirkan jiwa, watak atau pribadi yang unggul. Semua itu bagi kaum muslimin merupakan kekuatan dan sendi atau pilar lahirnya masyarakat dan bahkan peradaban yang unggul yang dicita-citakan oleh seluruh kaum musliminmua. Inilah sesungguhnya kehidupan yang diharapkan bagi kaum muslimin.

Kehidupan kaum muslimin dari waktu ke waktu yang secara ideal digambarkan itu, sungguh amat indah dan mulia. Namun pada kenyataannya, manusia selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan nyata, baik terkait dengan kesejarahan, sosilogis, kultural, dan psikologisnya, sehingga apa yang seharusnya terjadi, ternyata tidaklah selalu demikian indah keadaaannya. Islam melalui kitab suci al Qur�an dan tauladan kehidupan Rasulullan, telah memberikan tuntunan tipe ideal kehidupan seseorang muslim yang seharusnya selalu dijadikan cita-cita, agar lahir pribadi dan juga masyarakat unggul, yaitu masyarakat yang dibangun di atas landasan yang kokoh serta gambaran kehidupan yang jelas, yaitu kehidupan yang diliputi oleh suasana ibadah, amal sholeh dan akhlak yang mulia. Allahu a�lam.

Memahami Psikologi Kelompok Teroris



Pada saat seperti sekarang ini kelompok teroris menjadi sangat ditakuti dan bahkan juga dibenci oleh banyak orang. Mereka (para teroris) merasa benar dalam memahami Islam, sedangkan orang lain dianggap salah. Apa yang dilakukan juga dianggap sebagai bagian dari caranya membela agamanya, dan berharap mendapatkan kebahagiaan kelak di akherat. Dengan mengebom hingga berhasill menghancurkan dan bahkan membunuh banyak orang, termasuk dirinya sendiri, dianggapnya sebagai syahid yang kelak akan dibalas dengan sorga.

Resiko sebagai kelompok teroris sedemikian berat, tetapi mereka jalani. Mereka juga tahu bahwa dirinya dikejar-kejar, seolah-olah tidak diberi hak hidup, karena membahayakan dan menakutkan bagi siapapun. Akan tetapi, mereka tidak peduli dan kegiatan itu tetap dijalani. Resiko itu tidak mereka pedulikan, oleh karena didorong rasa kecintaan mereka terhadap Tuhan, untuk mendapatkan surga-Nya kelak.

Para teroris bercita-cita agar mati syahid. Hidup aman, damai, dan sejahtera di dunia, tidak menjadi tujuan jika dalam suasana itu ada sesuatu yang dianggap salah. Sudah barang tentu, yang dianggap sebagai kesalahan adalah menurut ukuran atau takaran mereka. Ber-Islam bagi mereka adalah menegakkan kebenaran dan membasmi kemungkaran. Lagi-lagi yang dimaksud keberan dan kemungkaran adalah juga menurut ukuran mereka sendiri.

Pemahaman tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan mereka tentang Islam tidak mendalam. Para teroris tampaknya belum masuk kategori ilmuwan, ulama atau sejenisnya. Kedalaman atau keluasan ilmu mereka masih bisa disebut pas-pasan, bahkan masih kurang mencukupi. Bahwa Islam tidak boleh membuat kerusakan, tetapi mereka melakukannya. Islam melarang saling membunuh, tetapi dengan bom mereka menghilangkan nyawa orang. Ajaran Islam memberikan petunjuk agar meraih hidup bahagia dan selamat di dunia dan di akherat, tetapi mereka malah mencelakakan diri dengan cara bunuh diri.

Namun hal yang luar biasa dari mereka adalah keteguhan dalam membela keyakinannya itu. Mereka mau mengorbankan apapun demi keyakinannya itu, bahkan hingga mati sekalipun. Orang yang berpandangan tidak sama dengan dirinya dianggap musuh, dan boleh dimusnahkan. Membunuh dan memusnahkan orang yang tidak sama dengan mereka, dianggap boleh. Ber-Islam bagi mereka sama artinya memposisikan diri sebagai pihak yang memiliki musuh dan musuh itu harus dihancurkan.

Memang ada dalam Islam perintah untuk berjihat dalam arti perang. Akan tetapi perintah itu adalah dalam kontek membela diri manakala sedang diperangi dan diusir oleh musuh. Sebaliknya, justru Islam mengajarkan tentang keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan. Islam hadir adalah memberikan kabar gembira tentang kehidupan yang mulia yang diliputi oleh suasana saling mengenal, memahami, menghargai, mencintai, dan tolong menolong antar sesama.

Dalam Islam perintah untuk saling mencintai dan kasih sayang sedemikian banyak dalam al Qur�n maupun hadits nabi. Sifat Allah yang maha mulia, seperti Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang disebut berulang-ulang dalam al Qur�n dan bahkan harus dibaca atau diucapkan dalam setiap melakukan kebaikan. Demikian pula dalam shalat lima waktu yang sehari-hari dijalankan, kaum muslimin harus menyebut atau mengucapkan sifat yang mulia itu.

Sepanjang hayatnya, Nabi Muhammad menghiasi kehidupnya dengan suasana kasih sayang, memperhatikan sesame, lebih-lebih terhadap orang yang lemah dan miskin. Utusan Allah ini selalu mengaitkan antara keimanan seseorang dengan berbuat baik kepada orang lain, seperti menolong pada fakir miskin, anak yatim, orang yang sedang kesulitan dalam perjalanan, memiliki hutang dan sebagainya. Orang yang tidak mau memperhatikan anak yatim dan member makan terhadap orang miskin disebut sebagai pendusta agama.

Oleh karena itu, munculnya teroris tidak saja merepotkan pemerintah dan pihak keamanan, tetapi juga menyita pikiran banyak orang, termasuk ulama dan tokoh muslim sendiri. Para tokoh dan ulama Islam tidak mau disebut bahwa kegiatan teroris dimotivasi oleh ajaran Islam. Islam tidak mengajarkan kekerasan, apalagi mengakibatkan kerusakan dan membunuh banyak orang. Maka hingga kini hal itu menyisakan persoalan yang masih menunggu jawaban yang pasti atau benar.

Hal yang menjadi teka-teki dan membingungkan misalnya, apabila dikatakan bahwa kegiatan teroris itu disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan agamanya, maka rupanya tidak benar. Sebab sedemikian banyak orang yang berpengetahuan agama terbatas tetapi tokh tidak ikut kelompok itu. Atau sebaliknya, jika dikatakan mereka terlalu paham tentang ajaran agamanya, juga tidak benar. Sebab banyak ulama, cendekiawan atau ilmuwan Islam tidak menjadi teroris, dan bahkan membenci, ngecam dan bahkan mengutuk kegiatan perusakan itu.

Jika demikian halnya, menjadi teroris tidak ada kaitannya dengan pengetahuan ke-Islam seseorang. Jiwa itu tumbuh, terbentuk, dan berkembang oleh lingkungan, hingga mereka menjadi pendendam, iri hati, marah, semangat permusuhan, merusak dan lain-lain. Jiwa yang tidak sewajarnya seperti itu, tatkala menemukan pembenar, yaitu konsep tentang syahid, maka mereka rela masuk kelompok itu. Padahal syahid dalam arti membela Islam adalah mewujudkan kedamaian, keselamatan, dan kebahagiaan.

Atas dasar itu, maka diperlukan pemahaman yang lebih mendalam lagi terhadap fenomena itu, baik terkait dengan internail pribadi maupun lingkungan luas yang membentuknya. Rupanya semakin dimusuhi, maka hati mereka akan semakin sakit, dendam, dan mereka akan mencari musuh sedapat-dapatnya. Oleh karena itu hal yang perlu dilakukan adalah melakukan pendekatan, penyadaran, dan bahkan penyembuhan terhadap hati yang sakit itu. Panyakit hati biasanya muncul dari suasana tidak adil, merasa dibaikan, tersisih dan lain-lain.

Oleh karena itu, saya melihat perlunya di negeri ini dikembangkan tata kehidupan yang bernuansa sejuk, kasih sayang, kepedulian terhadap semua, menghindari keputusan atau kebijakan yang melahirkan pemusuhan, berebut yang berlebihan, rasa dendam dan tidak adil, memonopoli sesuatu yang sebenarnya dibutuhkan bersama, tidak memenuhi kepantasan, dan lain-lain. Dengan cara itu maka insya Allah, akan mengurangi munculnya gejala yang tidak diinginkan itu, yakni gerakan teroris yang menggelisahkan bagi semua. Wallahu a�lam.

Menjaga Persahabatan



Siapapun akan mengakui bahwa keberadaan sahabat adalah sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Nabi juga memberikan contoh nyata, bahwa dalam menunaikan amanah untuk menyebarkan Islam, beliau memiliki banyak sahabat yang tulus dalam keadaan suka dan dukanya.

Sedemikian mudah dipahami tentang betapa pentingnya posisi sahabat ini dalam kehidupan bagi setiap orang. Namun pada kenyataannya tidak semua orang menyadari dan memahaminya secara mendalam, sehingga hal itu harus dijaga dan atau dipelihara. Siapapun akan menjadi enak hidupnya dan akan berhasil cita-citanya manakala memiliki banyak teman atau sahabat.

Tentang betapa pentingnya persahabatan ini, Rasulullah memberikan contoh bagaimana bersahabat yang baik dengan orang lain. Beliau memiliki banyak sahabat, di antaranya adalah Abubakar, Umar, Ustman, Ali dan sangat banyak lagi lainnya. Mereka itu hidup dan berjuang mendampingi Nabi untuk memperkenalkan dan menegakkan ajaran Islam, mulai tatkala masih dari Makkah hingga sampai ke Madinah.

Selain ketauladanan, Nabi memberikan nasehat tentang bagaimana menjaga persahabatan itu. Antar sesama muslim seharusnya dibangunan hubungan yang kokoh, digambarkan bagaikan tubuh yang satu, maka antara bagian satu dengan bagian lainnya hendaknya saling memperkokoh. Manakala bagian tubuh ada yang sakit, maka bagian yang sakit itu akan dirasakan oleh seluruh tubuhnya.

Ikatan persahabatan itu sedemikian penting, hingga dikaitkan dengan keimanan seseorang. Seseorang yang mengaku dirinya beriman maka harus mencintai sesama saudaranya atau sahabat-sahabatnya. Dikatakan oleh Nabi bahwa, tidak sempurna iman seseorang hingga ia sanggup mencintai saudaranya sebagaimana cintanya terhadap dirinya sendiri.

Begitu indahnya ikatan yang seharusnya dibangun dan dijalin di antara sesama muslim dalam Islam. Namun demikian, ternyata tidak semua orang mampu menjalaninya. Semangat untuk menang atas temannya, seringkali mengalahkan rasio dan juga ajaran Islam yang sedemikian indah itu. Temannya sendiri yang semula diajak bekerjasama dalam suasana suka dan duka, tanpa merasa malu, mereka sengaja disakiti, disinggung perasaannya, dan bahkan juga disingkir-singkirkan.

Dalam Islam, jika terdapat perbedaan, mestinya harus dicari himkahnya. Tidak selayaknya, perbedaan itu dijadikan dinding pembatas, hingga saling tidak ketemu di antara sesama. Di antara sesama muslim tidak mengapa membentuk organisasi sosial dan bahkan politik berbeda-beda, tetapi ummat tidak boleh dibiarkan bercerai berai. Mereka harus tetap dipersatuan secara kokoh. Antar organisasi keagamaan yang berbeda seharusnya saling memperkokoh, dan bukan sebaliknya, saling menyalahkan dan bahkan melemahkan.

Munculnya korupsi, kolusi dan nepotisme seperti yang sehari-hari terdengar di negeri ini, sebenarnya adalah oleh karena banyak pemimpin yang tidak menghayati nilai-nilai luhur persahabatan ini. Manakala seseorang selalu sadar akan kebutuhan orang lain, maka tidak akan melakukan kesalahan, berupa mengambil sesuatu yang bukan haknya, apalagi mereka tahu bahwa apa yang dilakukan akan menganggu kehidupan bersama.

Tanpa ada kesadaran terhadap betapa pentingnya persahabatan, maka yang terjadi adalah saling mengintai kesalahan orang lain. Dicarilah bukti-bukti agar orang lain, sekalipun sahabatnya sendiri, agar masuk penjara. Tatkala orang lain menderita, maka merasa senang. Padahal seharusnya bersikap sebaliknya, yaitu akan merasa senang tatkala teman, saudara, dan para sahabatnya menjadi senang. Namun akhir-akhir ini ada sementara orang yang justru sebaliknya, merasa senang tatkala teman, saudara, dan sahabatnya mengalami kesusahan.

Betapa sulitnya menjaga persahabatan, hingga antara sesama pegawai atau profesi yang berada di satu kantor dan bahkan satu ruangan tidak mampu saling menjalin hubungan yang harmonis. Namun betapapun beratnya, persahabatan harus dijaga, sebab tidak akan mungkin seseorang memetik keberhasilan tanpa sahabat yang bisa diajak bekerjasama. Membangun dan menjalin persahabatan harus didasari oleh niat ikhlas, karena Allah, dan bukan karena ikatan kepentingan sederhana.

Persahabatan menjadi terjaga, manakala di antara sesama terjadi saling memahami, menghormati, dan menerima apa adanya. Setiap orang atas pembawaan, asal usul lingkungan keluarga, dan latar belakang pendidikannya memiliki karakter, watak dan perilaku yang beraneka ragam. Manakala semua perbedaaan itu bisa dipahami dan diterima seperti apa adanya, ------dan tidak selalu berpikir seharusnya, maka persahabatan itu akan selalu terjaga.

Kekurangan yang dimiliki oleh teman, kawan, dan sahabat, tidak dijadikan sebab untuk saling berpisah, tetapi sebaliknya kekurangan itu seharusnya justru segera ditutupi. Demikian pula kesalahan bukan segera dihukum, tetapi diingatkan, diluruskan, dan bahkan segera dimaafkan. Itulah persahabatan sejati. Tuhan mengajarkan yang demikian, ialah agar menutrupi kekurangan orang lain, dan menjadi seorang pemaaf. Wallahu a�lam.

Eksistensi Tuhan dalam Filsafat Ibnu Rusyd

Dalam menetapkan bukti-bukti tentang adanya Tuhan dan menjelaskan pola interaksi-Nya dengan alam, Ibnu Rusyd menempuh pendekatan yang berbeda dari para teolog maupun filosof pendahulunya seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Hal ini sedikitnya dilatari oleh dua alasan: Pertama, dalil kaum teolog yang bersandar kepada kaidah barunya alam bukanlah dalil agama yang ditawarkan oleh Allah Swt. dalam al-Quran. Menurut Ibnu Rusyd, dalam dalil tersebut masih terdapat berbagai keraguan pada premis-premisnya. Kedua, dalil penalaran melalui pembedaan antara wajib dan mumkin yang dikembangkan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina hanya bisa menjangkau kalangan tertentu saja, yakni para filosof dan tidak bagi kalangan yang jumlahnya lebih banyak.
Oleh karena itu, Ibnu Rusyd mencoba menjelaskannya dengan suatu nalar yang bukan saja bisa dijangkau oleh masyarakat awam, tetapi juga sesuai dengan kaidah-kaidah kefilsafatan. Pendekatan ini oleh Ibnu Rusyd disebut sebagai jalan syari’at (agama), yakni suatu jalan yang ditunjukkan oleh para Rasul melalui kitab-kitab suci mereka. Lebih tepatnya, Ibnu Rusyd mengelompokkan jalan tersebut menjadi tiga dalil, yaitu dalil ikhtira’, dalil ‘inayah al-Ilahiy dan dalil harakah, suatu dalil yang dikembangkannya dari madzhab Aristoteles.

Dalil ‘Inayah al-Ilahiy

Dalil ‘inayah didasarkan pada dua prinsip: Pertama, bahwa semua yang ada di alam semesta ini sesuai dengan kebutuhan manusia. Kedua, kesesuaian ini merupakan suatu kemestian dari segi Fa’il yang menghendaki tujuan tersebut, sebab tidak mungkin adanya kesesuaian itu terjadi secara kebetulan.
Dalil ini merupakan pengetahuan tentang Allah Swt. dengan segala ciptaan-Nya dan merupakan jalan yang ditempuh oleh para hukama’ (filosof). Dalam kitab Tafsir Ma ba’da al-Thabi’ah, sebagaimana dikutip oleh al-Iraqiy, Ibnu Rusyd menegaskan:
“Maka sesungguhnya syari’at yang khusus bagi filosof adalah meneliti terhadap segala yang ada. Sebab, Pencipta tidak disembah dengan suatu ibadah yang lebih mulia dari pada ma’rifah tentang segala ciptaan-Nya yang membawa kepada pengetahuan tentang Dzat-Nya yang mahasuci secara hakiki. Dengan demikian penelitian tersebut merupakan amal yang paling mulia di sisi-Nya.
Artinya, siapa saja yang menghendaki pengetahuan sempurna tentang Allah maka dia harus melakukan pengamatan terhadap segala yang ada ini. Di alam semesta terdapat berbagai contoh yang menunjukkan kesesuaian segala yang ada ini dengan eksistensi manusia. Itu artinya menunjukkan pula adanya ‘inayah al-Ilahiy, misalnya adanya matahari, bulan, tumbuh-tumbuhan, binatang, barang-barang tambang dan anggota tubuh manusia yang ternyata terdapat saling kesesuaian. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rusyd:
“Adapun segala yang ada ini sesuai bagi eksistensi manusia. Kebenaran tentang keyakinan ini dapat diperoleh dari adanya gambaran kesesuaian antara malam dan siang, matahari dan rembulan, seperti halnya kesesuaian musim yang empat (panas, dingin, semi dan gugur) bagi manusia. Sedangkan kesesuaian tempat bagi manusia, misalnya bumi ini sendiri. Demikian juga tampak adanya kesesuaian bagi manusia pada berbagai jenis binatang, tumbuh-tumbuhan, barang-barang tambang dan beberapa aspek yang lain seperti hujan, sungai, lautan dan tanah, air, api dan udara. Selain itu, juga tampak adanya ‘inayah tersebut dalam anggota tubuh manusia dan binatang, yakni bentuk dm ukuran anggota-anggota tubuh tersebut sesuai bagi kehidupan dan eksistensi manusia.”
Disamping itu, segala sesuatu yang ada di atas bumi ini diatur sedemikian rupa sehingga dapat saling menjaga bermacam-macam wujud yang ada di bumi secara mesti. Oleh karena itu, tidak mungkin adanya segala yang ada (mawjudat) ini adalah secara kebetulan, alias ada penciptanya. Matahari umpamanya, andaikan jisimnya lebih dari yang ada sekarang atau posisinya lebih dekat lagi dengan bumi, maka pasti rusaklah berbagai jenis tumbuh-tumbuhan dan binatang disebabkan oleh panasnya sinar matahari. Sebaliknya, bila jisim matahari itu lebih kecil atau lebih jauh, maka segala yang ada di bumi ini juga akan rusak dikarenakan oleh dingin yang amat sangat. Sedangkan jika tidak ada matahari yang mengisi langit maka tidak akan pernah ada pula musim panas, dingin, semi maupun musim gugur. Padahal, adanya keempat musim tersebut merupakan suatu kemestian bagi keberadaan tumbuh-tumbuhan dan binatang, bahkan manusia. Akhirnya, apabila semua gerak harian ini tidak ada, maka tidak akan ada pula siang dan malam.
Adapun rembulan pengaruhnya juga sangat jelas, sebab seandainya jisim bulan itu lebih besar atau lebih kecil, lebih jauh atau lebih dekat, atau sinarnya tidak terpancar dari matahari, maka tidak akan ada lagi bagi rembulan tersebut perbuatannya yang ada selama ini.
Oleh karena itu, ‘inaya al-Ilahiy di atas tidak mungkin terbatas hanya pada matahari dan bulan, tetapi mesti terdapat juga pada keseluruhan bintang-bintang, langit-langit dan dalam perjalanan benda-benda langit yang bergerak secara seimbang dengan jarak yang terbatas dari matahari. Seandainya sirkulasi benda-benda langit itu berhenti sekejap saja, maka pasti rusaklah segala yang ada di bumi, apalagi jika mereka berhenti secara keseluruhannya.
Untuk mempertegas dalil ‘inayah-nya itu, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa apabila manusia memperhatikan sesuatu yang konkrit (al-syai’ al-mahsus) maka mereka akan menyaksikan sesuatu itu diletakkan dengan bentuk, ukuran dan tempat yang sesuai dengan keseluruhannya. Semua itu, agar bermanfaat bagi manusia, baik dalam bentuknya yang konkrit maupun tujuan-tujuannya yang hendak dicapai. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa jika semua itu tidak diletakkan sebagaimana mestinya di atas maka dalam pembentukan, peletakan dan penetapan tersebut tidak akan memberikan manfaat bagi manusia. Sehingga, tidak mungkin dengan adanya keserasian segala sesuatu yang konkrit tersebut, adanya suatu manfaat itu adalah secara kebetulan. Misalnya, apabila manusia menyaksikan sebuah batu, maka mereka akan menemukan bahwa bentuk (fungsi) batu itu dapat diubah menjadi tempat duduk. Demikian juga perihal letak dan ukurannya, sehingga seseorang akan mengetahui bahwa tempat duduk dari batu tersebut dijadikan oleh penciptanya, yaitu dia yang telah meletakkannya seperti itu dengan ukuran dan tempatnya yang tertentu.
Ibnu Rusyd memperkuat dalil ini dengan mengemukakan sejumlah ayat al-Quran, diantaranya (QS. Al-Naba’/78:6-16):
“Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan dan gunung sebagai pasak. Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, Kami jadikan tidurmu untuk beristirahat, malam sebagai pakaian, siang untuk mencari penghidupan, dan Kami tegakkan di atas kamu tujuh lapis langit yang kokoh, Kami jadikan pelita (matahari) yang amat terang, Kami turunkan dari awan air yang banyak, supaya dapat Kami tentukan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan dan kebun-kebun yang lezat.”
Menurut filosof muslim Cordova tersebut, ayat ini mengandung pernyataan tentang adanya keserasian antara bagian-bagian dari alam ini dengan wujud manusia. Oleh karena itu, tidak dapat disangsikan lagi bahwa bumi yang diciptakan dengan sifat-sifatnya ini adalah agar memudahkan bagi manusia untuk menempatinya. Seandainya bumi memiliki bentuk selain yang sekarang dan tidak terletak pada tempatnya yang selama ini ada, atau dengan ukuran yang berbeda maka tidak akan pernah mungkin ada sesuatu yang tercipta di atasnya. Hal ini tergambar dalam firman-Nya:
Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan…(QS. Al-Naba’/78:6).
Dimana kata (mihada) dalam ayat ini mencakup makna keserasian bentuk dan tempat bumi.
Adapun premis-premis yang memperkuat dalil ‘inayah di atas adalah sebagai berikut:
Alam dengan seluruh bagian-bagiannya diadakan sesuai bagi manusia dan segala yang ada (premis minor).
Setiap yang ada itu sesuai dalam seluruh bagian-bagiannya bagi perbuatan yang satu dan diluruskan kearah tujuan yang satu, yaitu penciptaan yang mesti (premis mayor)
Jadi, alam adalah diciptakan secara dharuriy dan ia memiliki pencipta (konklusi).
Dengan demikian, dalil ‘inayah Ibnu Rusyd ini memang sesuai dengan kedua prinsip yang melatarinya, yakni semua yang ada di alam semesta diciptakan sesuai bagi keperluan manusia; dan keserasian tersebut merupakan suatu kemestian bila ditinjau dari segi fa’il yang menghendakinya, sebab tidak mungkin adanya keserasian itu terjadi secara kebetulan. Oleh karenanya, Ibnu Rusyd berani meyakinkan bahwa dalil yang ditawarkannya ini merupakan dalil yang kuat untuk membuktikan adanya pencipta alam.
Demikianlah Ibnu Rusyd mengupayakan dengan dalil ‘inayah itu dapat membuktikan adanya Allah Swt. sebagai Pencipta dan Pemelihara alam. Sehingga, dengan dalil itu perlu ditegaskan bahwa Ibnu Rusyd telah melontarkan kritiknya terhadap dalil yang mengatakan bahwa segala yang ada di alam terjadi secara kebetulan (bi al-ittifaq), atau pendapat tentang sifat mumkin dan ja’iz-nya segala sesuatu. Menurut Ibnu Rusyd, kedua dalil tersebut bertentangan dengan syari’at dan filsafat. Karena, kedua dalil tersebut lebih dekat kepada peniadaan pencipta dari pada membuktikan keberadaan-Nya.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam dalil ‘inayah Ibnu Rusyd, yang oleh kebanyakan ahli dinilai sebagai dalil syari’at, justru mengandung muatan rasional yang nyata dan memuat kritik-kritik kepada dalil-dalil yang mengatasnamakan dalil agama. Atas dasar itu, bisa dipahami ketika al-Iraqiy berpendapat bahwa sedikit sekali ditemukan pada kalangan teolog maupun filosof sebelum Ibnu Rusyd yang mampu mempertemukan secara baik antara dalil ‘inayah dan ghaiyah. Bahkan, Aristoteles sendiri yang mengemukakan adanya tujuan dari gerak alam ini belum juga sampai pada usaha mempertemukannya dengan ‘inayah Tuhan dalam dalil tersebut. Jika Ibnu Rusyd menciptakan suatu dalil yang belum pernah dilakukan oleh gurunya (Aristoteles), maka hal itu semata-mata dilaksanakan oleh Ibnu Rusyd dalam rengka mempertemukan apa yang terkandung dalam madzhab Aristoteles, sebagai yang mewakili warisan tradisi Yunani, dengan ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam Islam.
Namun demikian, harus segera pula dicatat bahwa usaha Ibnu Rusyd merekonsiliasi kedua tradisi tersebut bukanlah satu-satunya atau yang pertama kali dilakukan di dunia Islam. Jika ditelusuri jauh ke masa-masa sebelum Ibnu Rusyd, maka akan kita dapati bahwa kaum Mu’tazilah telah membicarakan persoalan ‘inayah Ilahiy tersebut dalam lima ajaran dasar mereka. Tepatnya, sebagaimana tercermin dalam ajaran mereka tentang keadilan Tuhan (al-‘adl). Bermula dari pembahasan tentang masalah keadilan Tuhan inilah, mereka sampai pada pemikiran tentang ‘inayah Ilahiy yang dipandang sebagai manifestasi dari keadilan Tuhan kepada manusia.
Lebih dari itu, kaum filosof muslim generasi awal seperti al-Kindi dan belakangan Ibnu Thufail juga telah menggelar wacana tentang dalil ‘inayah al-Ilahiy ini. Al-Kindi misalnya, dalam penjelasannya tentang sebab dari segala yang ada, mengatakan bahwa segala yang ada di alam bagi adanya sendiri antara lain diperlukan “sebab tujuan” (‘illah gha’iyah). Dan mengenai pembuktiannya terhadap adanya Allah, al-Kindi mengedepankan suatu keyakinan tentang adanya hikmah al-Ilahiy dan gha’iyyah tersebut.
Sedangkan Ibnu Thufail dalam kisah roman filosofisnya, Hayy ibn Yaqdzan, menguraikan ungkapan tentang ‘illah gha’iyyah dan ‘inayah Ilahiy juga secara memadai. Di sinilah kira-kira alasannya ketika al-Iraqiy mempertahankan penilaiannya bahwa al-Kindi dan Ibnu Thufail juga bersandar pada kedua dalil tersebut dalam membuktikan adanya Allah.
Dari penjelasan tersebut tidak tertutup kemungkinan bahwa Ibnu Rusyd telah terpengaruh oleh pemikiran para filosof muslim pendahulunya, seperti al-Kindi dan Ibnu Thufail. Tetapi, tidak dapat diingkari juga bahwa pemikiran Ibnu Rusyd dalam hal ini sangat tipikal, sehingga kedua dalilnya itu tentu saja sangat berbeda dengan versi al-Kindi maupun Ibnu Thufail. Disamping itu, gagasan Ibnu Rusyd tentang dalil ‘inayah al-Ilahiy memiliki saling keterkaitan dengan berbagai pemikiran filosofisnya yang lain, seperti ide tentang kausalitas (sababiyah) dan ghai’iyah yang ia komposisikan dari Aristoteles. Satu alasan lagi mengapa Ibnu Rusyd dibedakan dari yang lain adalah sikap keberagamaan Ibnu Rusyd merupakan faktor yang tersendiri bagi kemunculan dalil inayah al-Ilahiy tersebut.

Dalil Ikhtira’

Sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Rusyd dalam al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah, dalil ikhtira’ ini didasarkan pada suatu keyakinan bahwa segala sesuatu yang dapat dipersepsi pancaindera maupun akal adalah diciptakan. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai dalil penciptaan atau dalil ikhtira’. Selain itu, tujuan syar’i dalam pengetahuan tentang alam ini tidak lain adalah untuk menegaskan bahwa alam memang diciptakan dan karenanya alam ini mesti memiliki pencipta, yakni Allah SWt.
Terdapatnya berbagai jenis binatang, tumbuh-tumbuhan, barang-barang tambang dan langit yang bertingkat-tingkat, semua itu merupakan bukti adanya penciptaan. Dari itu, Ibnu Rusyd kembali menegakkan dalil tersebut di atas dua prinsip. Pertama, bahwa segala yang ada ini adalah diciptakan; Kedua, setiap ciptaan mesti ada penciptanya. Kedua prinsip ini, sebagai dinyatakan oleh Ibnu Rusyd sendiri, ada secara potensial dalam keseluruhan penciptaan manusia.
Prinsip pertama dapat diketahui dengan sendirinya dalam wujud binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini sebagaimana tercermin dalam al-Qur’an:
Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu seru selain Allah, sekali-kali tidak akan pernah dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. (QS. al-Hajj/22:73)
Menurut al-Iraqiy, prinsip pertama tadi mengandung makna bahwa seandainya kita menyaksikan jisim-jisim materi dan darinya melahirkan suatu kehidupan, maka dapat dipastikan bahwa di sini terdapat pencipta yang mewujudkan kehidupan tersebut, karena setiap sesuatu itu mesti ada sebabnya dan tidak ada sesuatu apapun yang tercipta secara kebetulan. Kemudian, keteraturan gerakan langit juga dapat dikatakan bahwa ia diperintahkan untuk bergerak dan dipelihara agar tetap wujud di alam semesta, serta ditundukkan demi kepentingan manusia. Dzat yang menundukkan dan memerintah langit itulah yang menciptakannya beserta gerakannnya secara mesti.
Jika prinsip pertama ini dipadukan dengan prinsip kedua yang menegaskan bahwa setiap ciptaan mesti mempunyai pencipta, maka tidak dapat disangsikan lagi bahwa segala yang ada ini tentu mempunyai pencipta. Apabila dalam dalil tadi terdapat suatu kemestian yang menetapkan sampainya sesuatu kepada penciptanya, maka sesungguhnya kemestian ini muncul dari pengetahuan tentang segala yang ada (mawjudat) dengan sendirinya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Rusyd:
Oleh karena itu, merupakan suatu kemestian bagi siapa saja yang menghendaki pengetahuan tentang Allah sebagai sebenar-benarnya pengetahuan, mengetahui substansi segala sesuatu agar dia bisa sampai kepada penciptaaan yang hakiki dalam keseluruhan mawjudat, karena siapa saja yang tidak mengetahui hakikat sesuatu maka dia tidak akan mengetahui hakikat penciptaan.
Allah Swt. Berfirman:
Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah…..(QS. Al-A’raf/7:185)
Adapun ayat al-Qur’an yang memberikan isyarat kepada dalil ikhtira’ tersebut, sebagaimana disinyalir oleh Ibnu Rusyd dalam al-Manahij al-Adillah, adalah firman Allah Swt.:
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar. (QS. Al-Thariq/86:6)
Maka, apakah mereka tidak memperhatikan onta, bagaimana ia diciptakan dan bagaimana langit ditinggikan….(QS. Al-Ghasiyyah/88:17)
Dalam penilaian al-Iraqiy, kedua dalil Ibnu Rusyd di atas (‘inayah al-Ilahiy dan ikhtira’) memiliki saling keterkaitan, karena dalam kedua dalil tersebut terdapat prinsip-prinsip hubungan, seperti kausalitas (sababiyah) dan tujuan (gha’iyyah). Dasar argumennya adalah firman Allah Swt.:
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit-langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki bagimu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah/1:21-22)
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa dalil ‘inayah dan ikhtira’ tidak saja sesuai bagi masyarakat khawas (ulama) tetapi juga bagi kalangan jumhur. Hanya saja, yang menjadi perbedaannya adalah pengetahuan mereka tentang perinciannya:
Kalangan jumhur membatasi pengetahuan ‘inayah dan ikhtira’ hanya kepada sesuatu yang terjangkau oleh pengetahuan pertama yang dibangun atas dasar pengetahuan inderawi. Sedangkan ulama, maka mereka ini menambahkan sesuatu yang hanya terjangkau secara inderawi dengan sesuatu yang dapat dicapai secara yakini (burhaniy), yaitu dari pengetahuan ‘inayah dan ikhtira’.
Maksud dari pendapat Ibnu Rusyd tersebut sesungguhnya adalah apabila pengetahuan jumhur bersifat inderawi, maka pengetahuan ulama mesti bersifat rasional (‘aqliyah) dan bisa dibuktikan (burhaniy). Derajat perbedaan pemahaman tersebut lebih dipengaruhi oleh tingkat kedalaman pengetahuan mereka tentang segala sesuatu. Oleh karena itu, ketika jumhur memperhatikan segala yang ada ini tanpa mempunyai pengetahuan tentang penciptaan, maka mereka akan menganggap bahwa segala yang ada ini hanyalah ciptaan belaka. Padahal, bagi setiap yang diciptakan itu mesti ada pencipta yang mewujudkannya. Sedangkan ulama, lebih dari itu, menambahkan pengetahuan filosofis kedalamnya, sehingga mereka bukan saja lebih mengetahui pencipta dari segi bahwa ia adalah pencipta, tetapi juga mengetahui lebih banyak dari pada orang-orang yang hanya mengetahui ciptaan-ciptaan ini dari segi ia sebagai ciptaan belaka.
Apabila jumhur mengetahui bahwa segala yang diciptakan ini ada penciptanya, maka demikian juga ulama. Dengan demikian, berbeda dengan kaum materialis yang mengingkari adanya pencipta. Mereka yang disebut belakangan ini ibarat orang-orang yang mengetahui berbagai ciptaan, namun tidak menyadari bahwa semua itu diciptakan. Bahkan, menganggapnya sebagai sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau tercipta dengan sendirinya. Kaitannya dengan madzhab materialisme di sini, yang berpendapat bahwa segala sesuatu ini terjadi secara kebetulan adalah mengingatkan kita pada kesalahan argumen kaum Asy’ariah ketika berpendapat bahwa penciptaan ini dapat dibagi menjadi: ittifaq, jawaz dan imkan.
Dengan demikian, adanya suatu pendapat yang mengatakan bahwa meskipun Ibnu Rusyd menyatakan bahwa dalil ‘inayah al-Ilahiy dan ikhtira’ merupakan dalil syari’at, namun tidak berarti bahwa Ibnu Rusyd menegakkan kedua dalilnya itu berdasarkan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh kaum khitabiy (teolog), dikarenakan kaum teolog tersebut juga mendasarkan dalil-dalilnya di atas nash-nash syar’i. Alasannya sederhana saja, apa yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd adalah dalam rangka memformulasikan unsur-unsur filosofis dari ayat-ayat al-Qur’an agar bisa diterima oleh ahli burhaniy (filosof). Oleh karena itu, walaupun Ibnu Rusyd menemukan dalam al-Qur’an adanya tiga pendekatan (khitabiy, jadliy dan burhaniy), yang notabene diperuntukkan bagi seluruh tingkatan manusia, namun Ibnu Rusyd tetap menghendaki lebih dari apa yang telah ditempuh oleh para ahli khitabiy maupun jadaliy, sehingga bisa sampai kepada tujuan ahli burhaniy. Dalam rangka mencapai maksud ini, Ibnu Rusyd menegaskan tidak ada jalan lain kecuali dengan melakukan takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan cara burhaniy.

Dalil Harakah (Gerak)

Selain dalil ‘inayah al-Ilahiy dan ikhtira’ di atas, Ibnu Rusyd berupaya memuaskan orang-orang khawas dengan dalil lain yang diandalkannya, yaitu dalil harakah. Dalil harakah ini, menurut Ibnu Rusyd sebagai dikutip oleh Ibrahim Madkour, secara filosofis lebih utama bila dibandingkan dengan dalil pembedaan antara mumkin dan wajib yang ditawarkan oleh Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan.
Sebagaimana halnya Aristoteles, Ibnu Rusyd dalam dalil harkah ini juga menetapkan adanya kemestian hubungan antara gerakan alam dengan Penggerak Pertama (al-Muharrik al-Awwal). Sesungguhnya, para filosof ketika mengamati bentuk-bentuk segala yang ada, maka jelas bagi mereka kemestian sampainya perkara dalam bentuk-bentuk atau esensi-esensi kepada esensi lain yang secara aktual terpisah dari materi dan dia mesti merupakan perbuatan murni (fi’l mahd). Demikian juga, ketika terdapat esensi potensial yang hanya bisa menjadi aktual dikarenakan oleh adanya esensi lain yang memiliki sifat aktual, maka perkara ini juga mesti berhenti pada suatu esensi yang merupakan perbuatan murni. Esensi tersebut tidak lain adalah Penggerak Pertama dari segala yang ada ini.
Atas dasar pandangan tersebut, Ibnu Rusyd seperti dikutip oleh al-Iraqiy, menegaskan bahwa tidak mungkin alam semesta ini menjadi penggerak bagi dirinya sendiri, yakni bergeraknya segala sesuatu itu tanpa ada penggeraknya. Misalnya, pohon yang ditumbangkan oleh tukang kayu, tidak mungkin ia tumbang dengan sendirinya jika tukang kayu tadi tidak menggerakkannya. Sama tidak mungkinnya juga dengan di bumi ini akan tumbuh pepohonan jika tidak ada yang menaburkan benih untuk kali pertamannya.
Dengan demikian jelas bahwa dalam ilmu fisika (‘ilm al-thabi’iy) Ibnu Rusyd, setiap gerak mesti mempunyai penggerak. Sesungguhnya, sesuatu yang bergerak itu hanya bisa bergerak berdasarkan sifat potensialnya, sedang penggerak bisa bergerak berdasarkan sifat aktualnya. Penggerak yang bergerak pada satu kesempatan dan tidak bergerak pada lain kesempatan, maka dia merupakan penggerak yang hanya bergerak atas dasar adanya sesuatu. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa ketika terdapat penggerak yang menggerakkan sesuatu dalam suatu waktu dan tidak menggerakkannya pada waktu yang lain, maka mesti terdapat penggerak lain yang mendahuluinya, sehingga tidak ada bagi sesuatu tadi penggerak pertamanya. Jika kami pastikan bahwa penggerak pertama bagi alam ini juga bergerak sesekali saja, maka dia pun tidak ada bedanya dengan penggerak sebelumnya tadi. Hal yang seperti ini bisa menyebabkan adanya tasalsul tanpa batas. Oleh karena itu, alam ini mesti mempunyai penggerak pertama yang tidak bergerak sama sekali, yakni Dia yang bergerak bukan karena dzat maupun sifat-Nya.
Dengan demikian, penggerak bagi alam semesta ini mesti merupakan perbuatan murni (fi’l mahdh), bukan penggerak yang berbuat dalam suatu ikatan masa dan hanya berbuat karena sifat potensialnya. Sebab, jika Dia merupakan penggerak yang bukan merupakan perbuatan murni, maka alam semesta ini tidak akan pernah terjadi dari-Nya.
Ibnu Rusyd memperkuat argumen di atas dengan pernyataannya bahwa setiap penggerak yang terdapat sifat potensial pada jawhar-nya, maka dia tidak bisa bergerak tanpa adanya penggerak lain yang akan mengaktualkan sifat potensialnya, sehingga bisa jadi penggerak yang demikian ini tidak akan pernah bisa mengktualkan gerakannya. Begitu juga bila terdapat penggerak yang sifat potensialnya berkaitan dengan suatu tempat, maka dia tidak akan selamanya ada, atau akan rusak dalam suatu masa. Hal inilah yang ditegaskan oleh Ibnu Rusyd dalam ilmu fisikanya, bahwa setiap sesuatu yang terdapat sifat potensial pada jawhar-nya, maka ia adalah sesuatu yang bisa rusak (fasid).
Jika ada penggerak yang dengan sifat potensialnya bergerak pada suatu tempat, maka boleh jadi dia bukanlah wujud penggerak itu sendiri. Oleh karena itu, penggerak alam semesta ini mesti tidak bercampur dengan sifat potensial sama sekali, tidak pada jawhar maupun wujudnya, dan tidak pada sumber-sumber potensi lainnya. Inilah makna esensi suatu perbuatan dalam filsafat Ibnu Rusyd.
Jika sebab adanya potensi itu adalah materi (hayula), maka penggerak pertama bagi alam semesta ini mesti terpisah dari materi. Jika setiap yang kekal adalah perbuatan murni (fi’l mahdh), maka setiap yang merupakan perbuatan murni mesti tidak mengandung sifat potensial di dalamnya.
Seperti inilah Ibnu Rusyd menyajikan konsepsi tentang gerak (harakah) dan penggerak (muharrik), atau konsepsinya tentang sifat potensial dan aktual untuk membuktikan adnya Tuhan. Konsepsi tersebut sekaligus dalam rangka menghindari kemungkinan adanya mata rantai yang tidak berkesudahan, sebab gambaran yang paling akhir ini tidak akan membawa kepada pendapat tentang adanya Penggerak Pertama (al-Muharik al-Awwal) yang tidak bergerak sama sekali, yaitu Tuhan itu sendiri.

Keadilan Gender dalam Islam

Keadilan gender merupakan persoalan yang penting, bukan karena ia terus diperdebatkan dan ditulis oleh para sarjana, tetapi ruang batin manusia sejak awal memang telah dipenuhi oleh kearifan perenial ini. Manusia selama ia masih manusiawi, nuraninya tidak akan pernah membenarkan berbagai bentuk penindasan terhadap sesamanya. Oleh karena itu, ketika manusia dalam pengalaman eksistensialnya menjumpai kesenjangan antara kaum adam dan hawa pada lingkup ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya, dan spiritual, tentu saja menyita perhatian para elite-intelektual mereka. Namun, jauh sebelum perjuangan terhadap kemerdekaan perempuan diproklamasikan oleh masyarakat modern, sebenarnya Islam telah menyerukan agar manusia tidak membuat disparitas gender di antara mereka.
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujurat:13)
Pandangan Islam terhadap adanya kaum laki-laki dan perempuan jelas tidak pernah membedakannya dari segi jenis kelamin, melainkan lebih kepada komitmen mereka dalam menegakkan moralitas Ilahiah. Namun, sejauh ini perspektif Islam terhadap persoalan tersebut kurang dipahami dan tidak direpresentasikan secara baik oleh umat Islam sendiri. Tidak sedikit dari para sarjana yang keliru dalam memahami perspektif Islam tersebut, memperkuat asumsi mereka hanya dengan melihat praktek-praktek budaya lokal di berbagai daerah. Bahkan, kesalahan ini semakin lengkap dengan adanya kecenderungan dalam menempatkan pemahaman hukum (juristic interpretations) seolah identik dengan Islam itu sendiri.
Atas dasar kekeliruan itulah, ada suatu dorongan akan kebutuhan untuk mengklarifikasi persoalan ini dalam bingkai sumber-sumber utama Islam. Klarifikasi ini dimaksudkan agar menjadi jelas bagaimana pandangan Islam yang sejatinya mengenai keadilan gender. Bagaimana sebenarnya Islam memposisikan kaum perempuan itu secara terhormat dalam teks-teks sucinya adalah suatu konsep yang perlu dimengerti, dan bagaimana para ilmuwan memahami teks-teks suci tersebut merupakan persoalan selanjutnya. Menurut Nasr Hamid, teks bukan unsur utama dalam membangun peradaban, melainkan dialektika manusia dengan realitas pada satu sisi dan dengan teks pada lain sisi justeru yang lebih menentukan. Apabila teks di sini dapat dipahami sebagai representasi agama, dan hasil dialektika umat dengan teks merupakan manifestasi budayanya, maka ketika mengkaji persoalan diskriminasi gender pada tataran agama, meminjam penjelasan Ninian Smart, diperlukan adanya pembedaan secara vertikal maupun horisontal terhadap agama dan budaya. Secara vertikal, menghendaki agar agama dan budaya itu dibedakan secara substansial. Sedangkan secara horisontal, meniscayakan adanya metodologi atau pendekatan untuk keperluan interpretasi dan pemahaman.

Suatu Kerangka Metodologi

Menempatkan Islam dalam sebuah perbincangan tentang persoalan-persoalan sosial seperti ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Upaya tersebut meniscayakan adanya pembedaan secara jelas antara ajaran-ajaran normatif Islam dengan beraneka ragam praktek-praktek budaya para pemeluknya, yang boleh jadi konsisten atau tidak konsisten dengan ajaran-ajaran Islam. Untuk itu, diperlukan pembahasan tentang ajaran-ajaran normatif Islam yang memandang keberadaan dan peran perempuan di masyarakat sebagai kriteria utama dalam menilai praktek-praktek masyarakat muslim dan untuk mengevaluasi kepatuhan mereka terhadap Islam.
Dalam rangka mengidentifikasi makna Islam ini, perlu dibedakan secara tegas antara sumber utama Islam (primary source of Islam)–al-Qur’an dan Sunnah–dengan pemikiran fiqh para sarjana muslim (ulama’) dalam memandang persoalan-persoalan yang spesifik. Selain itu, proses mengeluarkan hukum-hukum dari sumber utama itu juga harus difahami sebagai fungsi kemanusiaan (ijtihadiy). Artinya, bahwa setiap gagasan dan pemikiran yang timbul dari proses interpretasi teks selalu dipengaruhi oleh kondisi kesejarahan, sosial, dan kebudayaan. Dengan demikian, gagasan dan pemikiran manusia itu menjadi tidak bersifat otoritatif dan finalistik dalam pandangan wahyu. Produk ijtihadiy dalam bidang apapun, selama mesin produksinya adalah manusia–siapapun dia–maka sifat kebenarannya tetap saja relatif. Relatifitas gagasan dan pemikiran manusia ini membawa pada konskuensi, bahwa setiap rumusan intelektualisme Islam mengenai persoalan kesejarahan apapun harus selalu diposisikan terbuka terhadap berbagai koreksi dan perubahan.
Di sisi lain, al-Qur’an sebagai sumber pandangan hidup masyarakat muslim pada realitasnya selain memiliki dimensi normatifnya sendiri juga memuat dimensi kesejarahan, sehingga membuatnya dapat diinterpretasi sesuai dengan semangat dan kebutuhan manusia dalam periode sejarah serta konteks sosial manapun. Abdullah Darraz, sebagaimana dikutip Quraish Shihab, menggambarkan keluwesan redaksi al-Qur’an itu bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain, dan tidak mustahil jika seseorang mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang ia lihat. Arkoun lebih jauh menjelaskan bahwa jika al-Qur’an dapat dibaca, maka tentunya dapat pula ditafsirkan dengan berbagai pendekatan dan cara. Kaum muslim yang berpegang pada satu pembacaan atau penafsiran tertentu saja, sesungguhnya mereka tidak menyadari berbagai kerumitan dalam memahami al-Qur’an dan mengabaikan kedalaman serta kekayaannya. Itu sebabnya, ulama terus melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an. Penafsiran yang mereka lakukan dari generasi ke generasi terus pula mengalami perubahan dan perkembangan corak, kodifikasi maupun metodenya.
Oleh karena itu, dalam proses interpretasi terhadap sumber utama Islam di atas setidaknya dapat memperhatikan hal-hal berikut ini:
  1. Konteks pernyataan atau perintah di dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Terkait dengan al-Qur’an, hal ini mencakup konteks surat maupun ayat seperti yang tercatat, dan juga perspektif umum Islam, ajaran-ajaran, dan pandangan dunianya. Aplikasi yang sama juga dapat diberlakukan pada pembacaan teks-teks sunnah Nabi.
  2. Peristiwa pewahyuan, yakni latar belakang sejarah yang menyajikan alasan-alasan atau sebab-sebab utama yang mendasari turunnya wahyu. Hal ini dapat membantu menjelaskan makna suatu ayat dalam al-Qur’an maupun peristiwa atau kejadian yang menyertai pernyataan atau tindakan Nabi Muhammad Saw.
  3. Peranan sunnah dalam menjelaskan dan mendefinisikan makna teks al-Qur’an.
Menurut Amina Wadud, agar pembacaan terhadap al-Qur’an memiliki makna bagi kehidupan perempuan di era modern, maka selain pemahaman terhadap konteks saat al-Qur’an diwahyukan, pengertian terhadap komposisi gramatikal teks saat menuturkan pesan, dan teks secara keseluruhan yang menjadi pandangan dunia (weltanschauung) Islam mengenai perempuan juga mesti diperhatikan, sehingga posisi kaum perempuan dalam kitab suci dapat dicerna secara memadai. Kecuali itu, sebagaimana Fazlur Rahman, bagi Amina meskipun suasana umum maupun khusus yang melatari penurunan wahyu berlaku tertentu, namun pesan yang terkandung di dalamnya jelas tidak terbatas pada waktu atau suasana historis tersebut. Agar seorang pembaca dapat mengungkap makna sebenarnya suatu teks dalam al-Qur’an, maka ia harus memahami maksud ungkapan-ungkapan tersebut menurut waktu dan suasana penurunannya.
Untuk dapat memahami makna yang menjelaskan maksud dari prinsip dan ketetapan suatu ayat atau surat dalam al-Qur’an, maka seseorang perlu merujuk kepada sunnah. Salah satu prosedur penafsiran terhadap al-Qur’an yang kerap dilupakan oleh para pejuang feminis modern. Padahal sunnah yang autentik merupakan sumber utama ajaran Islam yang kedua, setelah al-Qur’an. Sunnah memainkan peran penting dalam memberikan arti, menjelaskan, dan mengelaborasi teks al-Qur’an. Misalnya, rukum Islam yang kedua, shalat, disebutkan di dalam al-Qur’an namun tanpa ada perincian tentang tata cara pelaksanaannya. Perincian mengenai tata cara melaksanakan sholat tersebut justru diperoleh dari Nabi Muhammad berdasarkan bimbingan Jibril.
Oleh karena itu, sebagaimana penuturan Badawi, sikap tidak peduli atau mengabaikan terhadap sunnah dapat membawa pada kesalahan yang serius dalam menafsirkan al-Qur’an. Pada saat yang sama, pemaknaan secara literal atau leksikal tentang suatu istilah yang dipakai dalam al-Qur’an mungkin juga bukan merupakan pemaknaan yang tepat jika Nabi telah memberikannya arti tertentu. Kesalahan juga bisa berlipat-lipat ketika pendefinisian secara literal yang keliru diterjemahkan dari teks Arab al-Qur’an yang asli ke dalam bahasa lain, yang boleh jadi kata-kata yang dipakai memiliki konotasinya sendiri.
Pembacaan secara harfiah (literal) dan parsial terhadap teks-teks suci, seperti al-Qur’an dan Hadis telah memberikan kesan terhadap Islam sebagai agama yang turut berpartisipasi dalam pembentukan dan pengabadian budaya patriarkhi yang bias gender. Misalnya, penafsiran terhadap ayat 34 dari Surat an-Nisa’ dan ayat 228 dari Surat al-Baqarah, hampir kebanyakan penafsir klasik maupun modern melegitimasi superioritas kaum laki-laki dalam perspektif Islam. Padahal, jika pengertian kedua ayat tersebut dikon-firmasikan terhadap ayat lainnya dan pada pandangan umum al-Qur’an tentang manusia, maka keduanya sama sekali tidak dimaksudkan oleh Tuhan untuk menegaskan bahwa kaum perempuan berada pada posisi subordinat di hadapan laki-laki, apalagi untuk membenarkan tindakan kekerasan suami pada istrinya.

Selasa, 12 April 2011

Do'a Kumail bin Ziyad

Dari beberapa tulisan q sebelumnya, banyak dihiasi dengan rasa cinta dan kasih sayang. Agar kedua karunia Allah tu g' mengalami kekeringan, bak tanah tak tersirami air, sekarang saatnya q tulis doa yang diajarkan oleh Imam Ali Karromallahu wajhah kepada sahabat setia sekaligus murid terdekat beliau. Karena doa itu bagaikan air yang selalu siap mengalirkan rahmatnya kepada tanah2 yang kekeringan seperti cinta dan kasih sayang.
Doa ini merupakan kunci pembuka rahmatNya, maghfirohNya serta rezekiNya bagi hamba2Nya yang lisannya tak berat untuk melantunkan doa2, seperti doa berikut ini :


الدعاء كميل
علمه سيدنا علي بن ابي طالب لصحبه كميل بن زياد

 بسم  الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على محمد و ال محمد

1.             اَللّـهُمَّ إنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْء ، وَ بِقُوَّتِكَ الَّتي قَهَرْتَ بِها كُلَّ شَيْء وَ خَضَعَ لَها كُلُّ شَيء ، وَ ذَلَّ لَها كُلُّ شَيء ، وَبِجَبَرُوتِكَ الَّتي غَلَبْتَ بِها كُلَّ شَيء، وَبِعِزَّتِكَ الَّتي لا يَقُومُ لَها شَيءٌ ، وَ بِعَظَمَتِكَ الَّتي مَلأَتْ كُلَّ شَيء ، وَبِسُلْطانِكَ الَّذي عَلا كُلَّ شَيء ، وَ بِوَجْهِكَ الْباقي بَعْدَ فَناءِ كُلِّ شَيء ، وَ بِأَسْمائِكَ الَّتي مَلأَتْ أرْكانَ كُلِّ شَيء ، وَ بِعِلْمِكَ الَّذي أَحاطَ بِكُلِّ شَيء ، وَ بِنُورِ وَجْهِكَ الَّذي أَضاءَ لَهُ كُلُّ شيء ، يا نُورُ يا قُدُّوسُ ، يا أَوَّلَ الأوَّلِينَ وَ يا آخِرَ الآخِرينَ .
2.             اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِي الذُّنُوبَ الَّتي تَهْتِكُ الْعِصَمَ ، اَللّـهُمَّ اغْفِـرْ لِي الذُّنُوبَ  الَّتي تُنْزِلُ النِّقَمَ ، اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِي الذُّنُوبَ الَّتي تُغَيِّـرُ النِّعَمَ ، اَللّـهُمَّ اغْفِرْ لي الذُّنُوبَ الَّتي تَحْبِسُ الدُّعاءَ ، اَللّـهُمَّ اغْفِرْ لِي الذُّنُوبَ الَّتي تُنْزِلُ الْبَلاءَ ، اَللّهُمَّ اغْفِرْ لي كُلَّ ذَنْب اَذْنَبْتُهُ ، وَ كُلَّ خَطيئَة اَخْطَأتُها .
3.             اَللّهُمَّ اِنّي اَتَقَرَّبُ اِلَيْكَ بِذِكْرِكَ ، وَ اَسْتَشْفِعُ بِكَ إلى نَفْسِكَ ، وَ أَسْأَلُكَ بِجُودِكَ أن تُدْنِيَني مِنْ قُرْبِكَ ، وَ أَنْ تُوزِعَني شُكْرَكَ ، وَ أَنْ تُلْهِمَني ذِكْرَكَ  ، اَللّهُمَّ إني أَسْأَلُكَ سُؤالَ خاضِع مُتَذَلِّل خاشِع أن تُسامِحَني وَ تَرْحَمَني وَ تَجْعَلَني بِقِسْمِكَ راضِياً قانِعاً ، وَ في جَميعِ الأحوال مُتَواضِعاً .
4.             اَللّهُمَّ وَ أَسْأَلُكَ سُؤالَ مَنِ اشْتَدَّتْ فاقَتُهُ ، وَ اَنْزَلَ بِكَ عِنْدَ الشَّدائِدِ حاجَتَهُ ، وَ عَظُمَ فيما عِنْدَكَ رَغْبَتُهُ . اَللّـهُمَّ عَظُمَ سُلْطانُكَ ، وَ عَلا مَكانُكَ ، وَ خَفِي مَكْرُكَ ، وَ ظَهَرَ اَمْرُكَ وَ غَلَبَ قَهْرُكَ ، وَ جَرَتْ قُدْرَتُكَ ، وَ لا يُمْكِنُ الْفِرارُ مِنْ حُكُومَتِكَ .
5.             اَللّهُمَّ لا أجِدُ لِذُنُوبي غافِراً ، وَ لا لِقَبائِحي ساتِراً ، وَ لا لِشَيء مِنْ عَمَلِي الْقَبيحِ بِالْحَسَنِ مُبَدِّلاً غَيْرَكَ ، لا اِلـهَ إلاّ أنْتَ ، سُبْحانَكَ وَ بِحَمْدِكَ ، ظَلَمْتُ نَفْسي ، وَ تَجَرَّأْتُ بِجَهْلي ، وَ سَكَنْتُ إلى قَديمِ ذِكْرِكَ لي وَ مَنِّكَ عَلَيَّ .
6.             اَللّهُمَّ مَوْلاي كَمْ مِنْ قَبيح سَتَرْتَهُ ، وَ كَمْ مِنْ فادِح مِنَ الْبَلاءِ اَقَلْتَهُ ، وَ كَمْ مِنْ عِثارٍ وَقَيْتَهُ ، وَ كَمْ مِنْ مَكْرُوهٍ دَفَعْتَهُ ، وَ كَمْ مِنْ ثَناءٍ جَميلٍ لَسْتُ اَهْلاً لَهُ نَشَرْتَهُ .
7.             اَللّهُمَّ عَظُمَ بَلائي ، وَ اَفْرَطَ بي سُوءُ حالي ، وَ قَصُرَتْ بي اَعْمالي ، وَ قَعَدَتْ بي اَغْلالي ، وَ حَبَسَني عَنْ نَفْعي بُعْدُ اَمَلي ، وَ خَدَعَتْنِي الدُّنْيا بِغُرُورِها ، وَ نَفْسي بِجِنايَتِها ، وَ مِطالي يا سَيِّدي فَأَسْأَلُكَ بِعِزَّتِكَ أن لا يَحْجُبَ عَنْكَ دُعائي سُوءُ عَمَلي وَ فِعالي ، وَ لا تَفْضَحْني بِخَفِي مَا اطَّلَعْتَ عَلَيْهِ مِنْ سِرّي ، وَ لا تُعاجِلْني بِالْعُقُوبَةِ عَلى ما عَمِلْتُهُ في خَلَواتي مِنْ سُوءِ فِعْلي وَ إساءَتي ، وَ دَوامِ تَفْريطي وَ جَهالَتي ، وَ كَثْرَةِ شَهَواتي وَ غَفْلَتي ، وَ كُنِ اللّهُمَّ بِعِزَّتِكَ لي في كُلِّ الأحوالِ رَؤوفاً ، وَ عَلَي في جَميعِ الاُْمُورِ عَطُوفاً .
8.             اِلـهي وَ رَبّي مَنْ لي غَيْرُكَ أَسْأَلُهُ كَشْفَ ضُرّي ، وَ النَّظَرَ في اَمْري ، اِلهي وَ مَوْلاي اَجْرَيْتَ عَلَي حُكْماً اِتَّبَعْتُ فيهِ هَوى نَفْسي ، وَ لَمْ اَحْتَرِسْ فيهِ مِنْ تَزْيينِ عَدُوّي ، فَغَرَّني بِما اَهْوى وَ اَسْعَدَهُ عَلى ذلِكَ الْقَضاءُ ، فَتَجاوَزْتُ بِما جَرى عَلَيَّ مِنْ ذلِكَ بَعْضَ حُدُودِكَ ، وَ خالَفْتُ بَعْضَ اَوامِرِكَ ، فَلَكَ الْحَمْدُ عَلي في جَميعِ ذلِكَ ، وَ لا حُجَّةَ لي فيما جَرى عَلَيَّ فيهِ قَضاؤُكَ ، وَ اَلْزَمَني حُكْمُكَ وَ بَلاؤُكَ .
9.             وَ قَدْ اَتَيْتُكَ يا اِلـهي بَعْدَ تَقْصيري وَ اِسْرافي عَلى نَفْسي مُعْتَذِراً نادِماً مُنْكَسِراً مُسْتَقيلاً مُسْتَغْفِراً مُنيباً مُقِرّاً مُذْعِناً مُعْتَرِفاً ، لا أجِدُ مَفَرّاً مِمّا كانَ مِنّي ، وَ لا مَفْزَعاً اَتَوَجَّهُ إليه في أَمْري ، غَيْرَ قَبُولِكَ عُذْري ، وَ اِدْخالِكَ اِيّايَ في سَعَة من  رَحْمَتِكَ .
10.      اَللّـهُمَّ فَاقْبَلْ عُذْري ، وَ ارْحَمْ شِدَّةَ ضُرّي ، وَ فُكَّني مِنْ شَدِّ وَثاقي . يا رَبِّ ارْحَمْ ضَعْفَ بَدَني ، وَ رِقَّةَ جِلْدي ، وَ دِقَّةَ عَظْمي ، يا مَنْ بَدَأَ خَلْقي وَ ذِكْري وَ تَرْبِيَتي وَ بِرّي وَ تَغْذِيَتي هَبْني لاِبـْتِداءِ كَرَمِكَ ، وَ سالِفِ بِرِّكَ بي .

11.      يا اِلـهي وَ سَيِّدي وَ رَبّي ، اَتُراكَ مُعَذِّبي بِنارِكَ بَعْدَ تَوْحيدِكَ ، وَ بَعْدَ مَا انْطَوى عَلَيْهِ قَلْبي مِنْ مَعْرِفَتِكَ ، وَ لَهِجَ بِهِ لِساني مِنْ ذِكْرِكَ ، وَ اعْتَقَدَهُ ضَميري مِنْ حُبِّكَ ، وَ بَعْدَ صِدْقِ اعْتِرافي و َدُعائي خاضِعاً لِرُبُوبِيَّتِكَ ، هَيْهاتَ أنْتَ اَكْرَمُ مِنْ أنْ تُضَيِّعَ مَنْ رَبَّيْتَهُ ، أوْ تُبَعِّدَ مَنْ أدْنَيْتَهُ ، اَوْ تُشَرِّدَ  مَنْ آوَيْتَهُ ، اَوْ تُسَلِّمَ اِلَى الْبَلاءِ مَنْ كَفَيْتَهُ وَ رَحِمْتَهُ ، وَ لَيْتَ شِعْري يا سَيِّدي وَ اِلـهي وَ مَوْلايَ ، اَتُسَلِّطُ النّارَ عَلى وُجُوه خَرَّتْ لِعَظَمَتِكَ ساجِدَةً ، وَ عَلى اَلْسُن نَطَقَتْ بِتَوْحيدِكَ صادِقَةً ، وَ بِشُكْرِكَ مادِحَةً ، وَ عَلى قُلُوبٍ اعْتَرَفَتْ بِإلهِيَّتِكَ مُحَقِّقَةً ، وَ عَلى ضَمائِرَ حَوَتْ مِنَ الْعِلْمِ بِكَ حَتّى صارَتْ خاشِعَةً ، وَ عَلى جَوارِحَ سَعَتْ إلى أوْطانِ تَعَبُّدِكَ طائِعَةً ، وَ اَشارَتْ بِاسْتِغْفارِكَ مُذْعِنَةً ، ما هكَذَا الظَّنُّ بِكَ ، وَ لا اُخْبِرْنا بِفَضْلِكَ عَنْكَ .
12.      يا كَريمُ يا رَبِّ وَ اَنْتَ تَعْلَمُ ضَعْفي عَنْ قَليل مِنْ بَلاءِ الدُّنْيا وَ عُقُوباتِها ، وَ ما يَجْري فيها مِنَ الْمَكارِهِ عَلى أهْلِها ، عَلى أنَّ ذلِكَ بَلاءٌ وَ مَكْرُوهٌ قَليلٌ مَكْثُهُ ، يَسيرٌ بَقاؤُهُ ، قَصيرٌ مُدَّتُهُ ، فَكَيْفَ احْتِمالي لِبَلاءِ الآخِرَةِ ، وَ جَليلِ وُقُوعِ الْمَكارِهِ فيها ، وَ هُوَ بَلاءٌ تَطُولُ مُدَّتُهُ ، وَ يَدُومُ مَقامُهُ ، وَ لا يُخَفَّفُ عَنْ اَهْلِهِ ، لاَِنَّهُ لا يَكُونُ إلاّ عَنْ غَضَبِكَ وَ اْنتِقامِكَ وَ سَخَطِكَ ، وَ هذا ما لا تَقُومُ لَهُ السَّمـاواتُ وَ الأرْضُ ، يا سَيِّدِي فَكَيْفَ لي وَ أنَا عَبْدُكَ الضَّعيـفُ الـذَّليـلُ الْحَقيـرُ الْمِسْكيـنُ الْمُسْتَكينُ .
13.      يا اِلهي وَ رَبّي وَ سَيِّدِي وَ مَوْلايَ لأيِّ الاُْمُورِ اِلَيْكَ اَشْكُو ، وَ لِما مِنْها أضِجُّ وَ اَبْكي ، لأليمِ الْعَذابِ وَ شِدَّتِهِ ، أمْ لِطُولِ الْبَلاءِ وَ مُدَّتِهِ ، فَلَئِنْ صَيَّرْتَني لِلْعُقُوباتِ مَعَ أعْدائِكَ ، وَ جَمَعْتَ بَيْني وَ بَيْنَ أهْلِ بَلائِكَ ، وَ فَرَّقْتَ بَيْني وَ بَيْنَ أحِبّائِكَ وَ أوْليائِكَ ، فَهَبْني يا إلـهي وَ سَيِّدِي وَ مَوْلايَ وَ رَبّي صَبَرْتُ عَلى عَذابِكَ ، فَكَيْفَ اَصْبِرُ عَلى فِراقِكَ ، وَ هَبْني صَبَرْتُ عَلى حَرِّ نارِكَ ، فَكَيْفَ اَصْبِرُ عَنِ النَّظَرِ إلى كَرامَتِكَ ، أمْ كَيْفَ أسْكُنُ فِي النّارِ وَ رَجائي عَفْوُكَ ، فَبِعِزَّتِكَ يا سَيِّدى وَ مَوْلايَ اُقْسِمُ صادِقاً لَئِنْ تَرَكْتَني ناطِقاً لاَِضِجَّنَّ إلَيْكَ بَيْنَ أهْلِها ضَجيجَ الآمِلينَ ، وَ لأصْرُخَنَّ إلَيْكَ صُراخَ الْمَسْتَصْرِخينَ ، وَ لأبْكِيَنَّ عَلَيْكَ بُكاءَ الْفاقِدينَ ، وَ لاَُنادِيَنَّكَ اَيْنَ كُنْتَ يا وَلِيَّ الْمُؤْمِنينَ ، يا غايَةَ آمالِ الْعارِفينَ ، يا غِياثَ الْمُسْتَغيثينَ ، يا حَبيبَ قُلُوبِ الصّادِقينَ ، وَ يا اِلهَ الْعالَمينَ .
14.     أفَتُراكَ سُبْحانَكَ يا إلهي وَ بِحَمْدِكَ تَسْمَعُ فيها صَوْتَ عَبْد مُسْلِم سُجِنَ فيها بِمُخالَفَتِهِ ، وَ ذاقَ طَعْمَ عَذابِها بِمَعْصِيَتِهِ ، وَ حُبِسَ بَيْنَ اَطْباقِها بِجُرْمِهِ وَ جَريرَتِهِ ، وَ هُوَ يَضِجُّ إلَيْكَ ضَجيجَ مُؤَمِّل لِرَحْمَتِكَ ، وَ يُناديكَ بِلِسانِ أهْلِ تَوْحيدِكَ ، وَ يَتَوَسَّلُ إلَيْكَ بِرُبُوبِيَّتِكَ ، يا مَوْلايَ فَكَيْفَ يَبْقى فِي الْعَذابِ وَ هُوَ يَرْجُو ما سَلَفَ مِنْ حِلْمِكَ ، أَمْ كَيْفَ تُؤْلِمُهُ النّارُ وَ هُوَ يَأْمُلُ فَضْلَكَ وَ رَحْمَتَكَ ، اَمْ كَيْفَ يُحْرِقُهُ لَهيبُها وَ أنْتَ تَسْمَعُ صَوْتَهُ وَ تَرى مَكانَه ، اَمْ كَيْفَ يَشْتَمِلُ عَلَيْهِ زَفيرُها وَ أنْتَ تَعْلَمُ ضَعْفَهُ ، اَمْ كَيْفَ يَتَقَلْقَلُ بَيْنَ اَطْباقِها وَ أنْتَ تَعْلَمُ صِدْقَهُ ، اَمْ كَيْفَ تَزْجُرُهُ زَبانِيَتُها وَ هُوَ يُناديكَ يا رَبَّهُ ، اَمْ كَيْفَ يَرْجُو فَضْلَكَ في عِتْقِهِ مِنْها فَتَتْرُكُهُ فيها ، هَيْهاتَ ما ذلِكَ الظَّنُ بِكَ ، وَ لاَ الْمَعْرُوفُ مِنْ فَضْلِكَ ، وَ لا مُشْبِهٌ لِما عامَلْتَ بِهِ الْمُوَحِّدينَ مِنْ بِرِّكَ وَ اِحْسانِكَ ،
15.      فَبِالْيَقينِ اَقْطَعُ لَوْ لا ما حَكَمْتَ بِهِ مِنْ تَعْذيبِ جاحِديكَ ، وَ قَضَيْتَ بِهِ مِنْ اِخْلادِ مُعانِدِيكَ ، لَجَعَلْتَ النّارَ كُلَّها بَرْداً وَ سَلاماً ، وَ ما كانَ لأحَد فيها مَقَرّاً وَ لا مُقاماً ، لكِنَّكَ تَقَدَّسَتْ أسْماؤُكَ اَقْسَمْتَ أنْ تَمْلاََها مِنَ الْكافِرينَ مِنَ الْجِنَّةِ وَ النّاسِ اَجْمَعينَ ، و َ أنْ تُخَلِّدَ فيهَا الْمُعانِدينَ ، وَ أنْتَ جَلَّ ثَناؤُكَ قُلْتَ مُبْتَدِئاً ، وَ تَطَوَّلْتَ بِالإنْعامِ مُتَكَرِّماً ، اَفَمَنْ كانَ مُؤْمِناً كَمَنْ كانَ فاسِقاً لا يَسْتَوُونَ .
16.      إلهي وَ سَيِّدى فَأَسْأَلُكَ بِالْقُدْرَةِ الَّتي قَدَّرْتَها ، وَ بِالْقَضِيَّةِ الَّتي حَتَمْتَها وَ حَكَمْتَها ، وَ غَلَبْتَ مَنْ عَلَيْهِ اَجْرَيْتَها ، أنْ تَهَبَ لي في هذِهِ اللَّيْلَةِ وَ في هذِهِ السّاعَةِ كُلَّ جُرْم اَجْرَمْتُهُ ، وَ كُلَّ ذَنْب اَذْنَبْتُهُ ، وَ كُلَّ قَبِيح أسْرَرْتُهُ ، وَ كُلَّ جَهْل عَمِلْتُهُ ، كَتَمْتُهُ أوْ اَعْلَنْتُهُ ، أخْفَيْتُهُ أوْ اَظْهَرْتُهُ ، وَ كُلَّ سَيِّئَة أمَرْتَ بِاِثْباتِهَا الْكِرامَ الْكاتِبينَ الَّذينَ وَكَّلْتَهُمْ بِحِفْظِ ما يَكُونُ مِنّي ، وَ جَعَلْتَهُمْ شُهُوداً عَلَيَّ مَعَ جَوارِحي ، وَ كُنْتَ أنْتَ الرَّقيبَ عَلَيَّ مِنْ وَرائِهِمْ ، وَ الشّاهِدَ لِما خَفِيَ عَنْهُمْ ، وَ بِرَحْمَتِكَ اَخْفَيْتَهُ ، وَ بِفَضْلِكَ سَتَرْتَهُ ، وَ أنْ تُوَفِّرَ حَظّي مِنْ كُلِّ خَيْر اَنْزَلْتَهُ أوْ اِحْسان فَضَّلْتَهُ ، أوْ بِرٍّ نَشَرْتَهُ ، أوْ رِزْق بَسَطْتَهُ ، أوْ ذَنْب تَغْفِرُهُ ، أوْ خَطَأ تَسْتُرُهُ ، يا رَبِّ يا رَبِّ يا رَبِّ .
17.      يا اِلهي وَ سَيِّدي وَ مَوْلايَ وَ مالِكَ رِقّي ، يا مَنْ بِيَدِهِ ناصِيَتي ، يا عَليماً بِضُرّي وَ مَسْكَنَتي ، يا خَبيراً بِفَقْري وَ فاقَتي ، يا رَبِّ يا رَبِّ يا رَبِّ ، أَسْأَلُكَ بِحَقِّكَ وَ قُدْسِكَ ، وَ اَعْظَمِ صِفاتِكَ وَ اَسْمائِكَ ، أنْ تَجْعَلَ اَوْقاتي مِنَ اللَّيْلِ وَ النَّهارِ بِذِكْرِكَ مَعْمُورَةً ، وَ بِخِدْمَتِكَ مَوْصُولَةً ، وَ اَعْمالي عِنْدَكَ مَقْبُولَةً ، حَتّى تَكُونَ أعْمالي وَ أوْرادي كُلُّها وِرْداً واحِداً ، وَ حالي في خِدْمَتِكَ سَرْمَداً .
18.      يا سَيِّدي يا مَنْ عَلَيْهِ مُعَوَّلي ، يا مَنْ اِلَيْهِ شَكَوْتُ أحْوالي ، يا رَبِّ يا رَبِّ يا رَبِّ ، قَوِّ عَلى خِدْمَتِكَ جَوارِحي ، وَ اشْدُدْ عَلَى الْعَزيمَةِ جَوانِحي ، وَ هَبْ لِيَ الْجِدَّ في خَشْيَتِكَ ، وَ الدَّوامَ فِي الاِْتِّصالِ بِخِدْمَتِكَ ، حَتّى أسْرَحَ إلَيْكَ في مَيادينِ السّابِقينَ ، وَ اُسْرِعَ إلَيْكَ فِي الْبارِزينَ ، وَ اَشْتاقَ إلى قُرْبِكَ فِي الْمُشْتاقينَ ، وَ اَدْنُوَ مِنْكَ دُنُوَّ الُْمخْلِصينَ ، وَ اَخافَكَ مَخافَةَ الْمُوقِنينَ ، وَ اَجْتَمِعَ في جِوارِكَ مَعَ الْمُؤْمِنينَ .
19.      اَللّهُمَّ وَ مَنْ اَرادَني بِسُوء فَاَرِدْهُ ، وَ مَنْ كادَني فَكِدْهُ ، وَ اجْعَلْني مِنْ أحْسَنِ عَبيدِكَ نَصيباً عِنْدَكَ ، وَ اَقْرَبِهِمْ مَنْزِلَةً مِنْكَ ، وَ اَخَصِّهِمْ زُلْفَةً لَدَيْكَ ، فَاِنَّهُ لا يُنالُ ذلِكَ إلاّ بِفَضْلِكَ ، وَ جُدْ لي بِجُودِكَ ، وَ اعْطِفْ عَلَيَّ بِمَجْدِكَ ، وَ احْفَظْني بِرَحْمَتِكَ ، وَ اجْعَلْ لِساني بِذِكْرِكَ لَهِجَاً ، وَ قَلْبي بِحُبِّكَ مُتَيَّماً ، وَ مُنَّ عَلَيَّ بِحُسْنِ اِجابَتِكَ ، وَ اَقِلْني عَثْرَتي ، وَ اغْفِرْ زَلَّتي ، فَاِنَّكَ قَضَيْتَ عَلى عِبادِكَ بِعِبادَتِكَ ، وَ اَمَرْتَهُمْ بِدُعائِكَ ، وَ ضَمِنْتَ لَهُمُ الإجابَةَ ، فَاِلَيْكَ يا رَبِّ نَصَبْتُ وَجْهي ، وَ اِلَيْكَ يا رَبِّ مَدَدْتُ يَدي ، فَبِعِزَّتِكَ اسْتَجِبْ لي دُعائي ، وَ بَلِّغْني مُنايَ ، وَ لا تَقْطَعْ مِنْ فَضْلِكَ رَجائي ، وَ اكْفِني شَرَّ الْجِنِّ وَ الإنْسِ مِنْ اَعْدائي .
20.      يا سَريعَ الرِّضا اِغْفِرْ لِمَنْ لا يَمْلِكُ إلاّ الدُّعاءَ ، فَاِنَّكَ فَعّالٌ لِما تَشاءُ ، يا مَنِ اسْمُهُ دَواءٌ وَ ذِكْرُهُ شِفاءٌ وَ طاعَتُهُ غِنىً ، اِرْحَمْ مَنْ رَأْسُ مالِهِ الرَّجاءُ ، وَ سِلاحُهُ الْبُكاءُ ، يا سابِـغَ النِّعَمِ ، يا دافِعَ النِّقَمِ ، يا نُورَ الْمُسْتَوْحِشينَ فِي الظُّلَمِ ، يا عالِماً لا يُعَلَّمُ ، صَلِّ عَلى مُحَمَّد وَ آلِ مُحَمَّد ، و َافْعَلْ بي ما أنْتَ اَهْلُهُ ، وَ صَلَّى اللهُ عَلى رَسُولِهِ وَ الأَئِمَّةِ الْمَيامينَ مِنْ آلِهِ ، وَ سَلَّمَ تَسْليماً كَثيراً

Jumat, 01 April 2011

Sejarah Singkat Yayasan Sunan Cendana

Saya adalah Hifni Kwanyar dan ini adalah Sejarah Singkat Yayasan Sunan Cendana
“ Barang siapa menginginkan kebahagiaan di dunia raihlah dengan ilmu, barang siapa menginginkan kebahagiaan akhirat, raihlah dengan ilmu, dan barang siapa menginginkan keduanya, raihlah dengan ilmu “ ( al-hadits ).
Berpijak dari hadits di atas, muncullah keinginan masyarakat Kwanyar yang taat dan fanatik akan nilai-nilai keislaman agar putra-putri mereka mendapat pendidikan yang agama yang cukup. Sementara kondisi Pendidikan Nasional tingkat lanjut yang kurang mengakomodir pelajaran-pelajaran agama. Hal ini di buktikan dengan pengalokasian pelajaran agama di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri di bawah Departemen Pendidikan Nasional yang sangat minim. Sementara sekolah Tsanawiyah Negeri di kabupaten Bangkalan yang hanya ada satu buah, itupun di Kota Kabupaten. Sehingga anak didik yang berasal dari kecamatan untuk mencapai Kota Kabupaten perlu mengeluarkan biaya tambahan yang dirasa cukup memberatkan.
Akhirnya tercetuslah keinginan untuk mendirikan lembaga pendidikan tingkat lanjutan yang berbasiskan agama demi mewujudkan keinginan dan impian suci masyarakat Kwanyar tersebut. Dan akhirnya pada tahun 1984, berdirilah Sekolah Menengah Pertama Islam ( SMPI ) Sunan Cendana. Belum selesai satu tahun ajaran pertama, nama SMPI berubah menjadi MTs (Madrasah Tsanawiyah) Sunan Cendana yang berafiliasi di bawah Departemen Agama.
Lembaga pendidikan tersebut didirikan oleh tokoh kharismatik KH. Abdul Mu’thi Manshur ( Alm ) yang sekaligus adalah pendiri Yayasan Sunan Cendana, beliau adalah turunan ke 7 ( tujuh ) dari Syeh Zainal Abidin yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Cendana yang merupakan penyebar agama Islam di Kwanyar dan dipercaya sebagai nenek moyang mereka. Kemudian namanya di abadikan di lembaga tersebut sebagai bentuk Tabarrukan ( Mengambil Barokah ) pada kekeramatan beliau, agar lembaga ini tetap berjalan berdasarkan garis ke-Islam-an yang beliau cita-citakan.
Pertama kali berdiri lembaga ini menggunakan gedung Madrasah Ibtida’iyah Diniyah Sunan Cendana yang telah berdiri jauh sebelumnya. Beberapa tahun kemudian lembaga ini mampu membangun gedung sendiri, dan tidak tergantung pada Madrasah Ibtida’iyah Diniyah Sunan Cendana berkat dukungan penuh dari masyarakat dan pemerintah.